Badan Legislasi DPR RI membahas rancangan undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan. Kali ini agendanya adalah penyampaian hasil pengkajian tim ahli terhadap RUU yang diusulkan Pimpinan Komisi V DPR RI.
Adapun salah satu yang menjadi koreksi tim ahli atas RUU tersebut adalah terkait fasilitas terhadap disabilitas.
"Perlu perbaikan norma pada Pasal 11 Ayat 4 untuk memperhatikan fasilitas bagi kalangan disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam UU No.8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Hal ini juga sesuai dengan masukan dari anggota dalam rapat sebelumnya agar dalam hal jalan ini diperhatikan fasilitas bagi penyandang disabilitas," ujar Tenaga Ahli Baleg DPR RI Sabari Barus dalam rapat tersebut, Rabu (18/11/2020).
Ayat 4 Pasal 11 Draf usulan ini, sebenarnya sudah menyebutkan fasilitas-fasilitas yang perlu ada, namun belum memasukkan klausul yang mendukung hak aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas terkait penyediaan sarana prasarananya.
Hal lain yang jadi perhatian Tim Ahli adalah dari aspek substansinya. Tim Ahli bilang perlu ada perbaikan frasa peran masyarakat pada Pasal 4 huruf g menjadi partisipasi masyarakat. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Lalu, perlu juga perbaikan norma pada Pasal 11 Ayat 3 terkait siapa yang bertanggung jawab menjaga jalan agar senantiasa berfungsi dengan baik, jadi dalam draf disebutkan ada keharusan menjaga jalan tapi tidak disebutkan siapa yang akan menjalankannya.
Selanjutnya, mengenai wewenang pemerintah pusat dan daerah. Dalam Pasal 15 dalam UU No. 38 Tahun 2004 itu diatur mengenai wewenang pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan jalan provinsi karena mengenai kewenangan ini di dalam pasal 16 RUU menyebut ada kemungkinan pelimpampahan wewenang, maka dipandang bahwa dalam hal pemerintah provinsi ada yang belum sanggup menjalankannya, maka perlu juga diatur klausulnya bisa disahkan kepada pemerintah pusat.
"Karena tidak tertutup kemungkinan ada provinsi-provinsi, khususnya provinsi baru misalnya yang belum sanggup menjalankan kewenangan di bidang jalan tersebut. Nah ini belum diubah sebagaimana terdapat dalam pasal 16 UU No.38 Tahun 2004," sambungnya.
Lalu, perlu dikonfirmasi kepada pengusul mengenai penyerahan kewenangan atau pengambil alihan di bidang jalan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 16 dan Pasal 16 A, mengenai apakah penyerahan atau pengambilalihan tersebut bersifat permanen atau temporer.
"Kemudian apakah kewenangan yang diserahkan atau diambil alih tersebut mencakup semua kewenangan atau hanya sebagian karena kewenangan itu mencakup pengaturan pembangunan perawatan dan seterusnya. Apakah seluruhnya atau hanya sebagian atau salah satu saja," imbuhnya.
Kemudian perlu jug dikonfirmasi bahwa ini terkait juga dengan kewenangan daerah otonom sebagaimana diatur dalam UU Pemerintah Daerah terkait dengan penyerahan atau pengalihan kewenangan tersebut.
"Apakah nanti misalnya tidak ada benturan dengan UU pemerintahan daerah tersebut, timpalnya.
Perbaikan selanjutnya terkait pada ketentuan Pasal 18, Tim Ahli menyarankan sebaiknya perlu ditambahkan satu ayat yang mengatur koordinasi kebijakan antar kementerian, antara lain terkait instalasi jalur listrik, pipa air, pipa gas pada jalan yang terintegrasi, terpadu supaya tidak terjadi bongkar pasang badan atau bahu jalan.
"Nah ini kita sering saksikan sendiri tidak adanya koordinasi dan integrasi sering mengganggu pengguna jalan karena berulang-ulang dilakukan bongkar pasang jalan," imbuhnya.
Kemudian, terkait perencanaan pembangunan desa, kata Tim Ahli merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, sehingga dipandang perlu diatur dalam pasal 21A RUU ini mengenai keterlibatan Menteri tersebut dalam perencanaan dan pembangunan jalan desa. "Itu belum diatur dalam RUU ini," sambungnya.
Tim Ahli juga menyinggung Pasal 35D RUU itu yang perlu diperjelas terkait hal-hal yang diatur dalam peraturan pemerintah yang tidak hanya pembangunan jalan sebagaimana tertulis dalam pasal 37D RUU ini, tetapi juga terkait penyusunan program dan anggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 31-34.
"Kemudian mengenai perencanaan teknis diatur dalam Pasal 35, pelaksanaan konstruksi diatur dalam Pasal 35A, kemudian mengenai pengoperasian jalan dalam Pasal 35B dan pemeliharaan jalan dalam Pasal 35C," katanya.
Hal lainnya masih seputar substansi dalam pasal 53A RUU ini, kata Tim Ahli sudah diatur dalam pasal 103 UU No.11 tahun 2020 tentang Peserta Kerja yang Baru Saja Disahkan. Sehingga ketentuan pasal 39 tentang penambahan pasal 53A dalam RUU ini dipandang tidak perlu lagi dimasukkan.
Lalu, di antara pasal 53 dan pasal 54 dalam UU No.38 tahun 2004 tentang Jalan disisipkan satu pasal yakni pasal 53A, yang mana ayat 4 dalam pasal itu sudah diatur dalam Pasal 103 UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sehingga RUU ini dianggap tidak perlu dibunyikan lagi.
Kemudian Tim Ahli juga meminta pengusul perlu mempertegas rumusan norma pada Pasal 57C Ayat 3 yaitu frasa dapat meminta pembinaan teknis diganti dengan frasa harus berkoordinasi dan meminta pembinaan teknis sehingga norma Pasal 57C ayat 3 berbunyi penyelenggaraan ayat khusus yang mengizinkan penggunaan jalan khusus untuk lalu lintas umum harus berkoordinasi dan meminta pembinaan teknis kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.
Selanjutnya, perlu ditambahkan norma baru Pasal 67 B mengenai keharusan pemerintah pusat melaporkan pelaksanaan UU ini kepada DPR sebagai pelaksanaan dari tugas dan fungsi DPR khususnya badan legislasi sebagaimana diatur dalam UU MD3.
Kemudian, RUU ini dianggap memuat terlalu banyak materi pasal. Padahal dalam UU No.38 tahun 2004 itu sendiri seluruhnya hanya ada 67 pasal. Sedangkan materi dalam RUU ini, poinnya saja sudah mencapai 43
"Nah itu saja sudah melebihi dari 50% belum lagi setiap poin itu berisi 3 pasal, ada penambahan pasal, misalnya pasal 10A, 10B, nah itu kan jelas secara kuantitatif sudah melebihi 60% sehingga sesuai dengan UU No.12 Tahun 2011 mengamanatkan bahwa apabila materi peraturan perundang-perundangan berubah, lebih dari 50% maka sebaiknya tidak lagi dalam bentuk perubahan tapi dengan penggantian karena strukturnya pun banyak yang berubah terlihat dari materi perubahan ini banyak penambahan A,B,C pasal-pasalnya," paparnya.
Namun, secara garis besar menurut Tim Ahli, RUU ini sudah memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Namun, berdasarkan kajian tersebut di atas tadi maka masih diperlukan penyempurnaan khususnya asas kejelasan rumusan dan asas dapat dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pasal 5 UU 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan juncto Pasal 66 peraturan DPR No. tahun 2020 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," tuturnya.