Jakarta -
Kementerian Perdagangan baru saja meluncurkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 92 Tahun 2020 tentang Perdagangan Antarpulau. Aturan ini merupakan revisi dari aturan sebelumnya yakni Permendag No 29 Tahun 2017.
Adapun salah satu yang membedakan aturan yang baru dengan yang lama adalah dengan adanya kewajiban kepada para pemilik muaran (Cargo Owner) untuk melaporkan daftar muatan (manifes domestik) antarpulaunya.
"Sebenarnya pencatatan antarpulau ini bukan hal yang baru, karena sebelum ini sudah ada Permendag No.29/2017. Bedanya sekarang lebih terintegrasi semua kementerian dan lembaga. Harapan kami karena ini adalah turunan dari Peraturan Presiden No.5/2020, di dalam Permendag ini adalah nanti hukumnya wajib bagi setiap pelaku usaha untuk mencatatkan perdagangan antarpulau ini," ujar Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Suhanto dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (10/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kewajiban tersebut tertuang dalam Pasal 4 ayat 1 Permendag baru tersebut. Begini bunyinya:
"Barang yang diperdagangkan antarpulau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (semua barang mencakup barang produksi dalam negeri, asal impor, maupun tujuan ekspor) wajib dilengkapi dengan Daftar Muatan (Manifes Domestik) antarpulau," demikian bunyi beleid itu.
Adapun data daftar manifes yang perlu disampaikan adalah data pemilik muatan antarpulau, barang yang diperdagangkan antarpulau, pengangkutan barang yang diperdagangkan antarpulau, dan penerima muatan.
Lanjut ke halaman berikutnya>>>
Data muatan tersebut bisa dilaporkan secara daring melalui Sistem Indonesia National Single Window (SINSW) Kementerian Keuangan, sebelum barang dimuat ke kapal. Data tersebut juga dapat diakses melalui Sistem Informasi Perizinan Terpadu (SIPT) Kemendag yang terintegrasi dengan SINSW.
Lalu, bagaimana bila ada pelaku usaha yang tidak mendaftarkan muatannya yang dikirim antarpulau tersebut?
Berdasarkan Pasal 16 Ayat 1 beleid itu, pemilik muatan antarpulau yang tidak menyampaikan data muatannya bisa dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis sampai rekomendasi pencabutan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Peringatan tertulis yang dimaksud disampaikan paling banyak 2 kali bila pemilik muatan kedapatan tak mengirim daftar muatannya tersebut. Setelah itu, baru diberi rekomendasi pencabutan NIB bila tetap tak mengirim daftar muatannya. Dalam hal ini yang memberikan rekomendasi adalah Direktur Jenderal Perlindubgan Konsumen dan Tertib Niaga kepada Lembaga OSS.
Tujuannya diterbitkannya aturan baru ini beserta kewajiban daftar muatan di atas tidak lain ialah agar aktivitas perdagangan antarpulau dapat tertata lebih rapi dan lebih terintegrasi antar kementerian/lembaga. Dengan kata lain untuk menghindari tumpang tindih aturan antarsektor. Dengan sistem logistik yang terintegrasi, pemerintah dapat dengan mudah memantau dan mengawasi barang yang didistribusikan melalui antarpulau.
Selain itu, beleid ini ditunjukan untuk mencegah penyelundupan ke luar negeri maupun masuk beredarnya barang selundupan ke dalam negeri.
"Dengan adanya kewajiban pada pemilik muatan atau cargo owner untuk sampaikan jenis dan jumlah barang, maka ke depan perencanaan pengiriman barang dari daerah surplus ke daerah minus menjadi lebih mudah, tepat dan dapat terkontrol dengan baik. Ini mengingat daerah 3T memiliki banyak produk unggulan yang dapat dimanfaatkan untuk muatan arus balik," paparnya.
Data dari daftar muatan antarpulau tersebut juga dapat digunakan sebagai referensi penerbitan 'shipping instruction' oleh perusahaan jasa pengurusan transportasi (PJPT)/forwarder.
Namun, kewajiban penyampaian daftar muatan antarpulau yang tercantum dalam Permendag ini baru mulai berlaku satu tahun sejak aturan itu diundangkan. Aturan ini telah diundangkan sejak 12 November 2020 dan baru ditetapkan pada 10 Desember 2020, sehingga kewajiban tadi baru mulai berlaku per 12 November 2021 mendatang.
"Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 1 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan," demikian bunyi Pasal 20 beleid itu.