Jakarta -
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah sudah menyalurkan dana otonomi khusus (otsus) dan dana tambahan infrastruktur sebesar Rp 138,65 triliun ke Papua dan Papua Barat. Penyaluran tersebut dilakukan sejak 2002.
Besarnya anggaran tersebut, dikatakan Sri Mulyani menjadi komitmen pemerintah berpihak kepada Papua dan Papua Barat. Anggaran tersebut juga belum termasuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan belanja kementerian/lembaga (K/L).
"Ini menggambarkan bahwa Papua dan Papua Barat mendapatkan pemihakan yang cukup signifikan dibandingkan provinsi lain," kata Sri Mulyani saat rapat kerja (raker) antara Menteri Keuangan dengan Komite I DPD RI tentang RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 yang dilaksanakan secara virtual, Selasa (26/1/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan dana yang mencapai Rp 138,65 triliun ini, Sri Mulyani pun mengungkapkan hasil yang sudah didapat Papua dan Papua Barat. Hasil tersebut hanya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir bagaimana dua provinsi ini mengejar ketertinggalan.
"Karena konsideran di huruf H, yang mengatakan bahwa untuk mengurangi kesenjangan dan meningkatkan taraf hidup terutama untuk penduduk Papua, maka diberikan kekhususan dan pemihakan," ujarnya.
Pertama, dari kesenjangan pendidikan di Papua dan Papua Barat bisa dilihat dari tingkat buta huruf dan angka partisipasi murni (APM). Tingkat buta huruf di Papua pada tahun 2011 masih di 36% dan rata-rata nasional 7%. Sekarang menurun tapi masih di 22,1%. Sementara untuk Papua Barat, Sri Mulyani menyebut masih sedikit lebih baik dari rata-rata nasional yaitu 2,48%.
Dilihat dari APM, atau anak-anak usia sekolah yang seharusnya bersekolah terlihat Papua masih jauh di bawah yaitu 79,3% di 2021. Sementara rata-rata nasional sudah di atas 90%. Sementara di Papua Barat sudah di level 93,88%.
"Selama 10 tahun terakhir terjadi kemajuan namun gapnya masih sangat tinggi," kata Sri Mulyani.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Kedua, dari tingkat kesehatan di
Papua dan Papua Barat yang dilihat dari tingkat umur harapan hidup dan tingkat persalinan ditolong tenaga kesehatan. Untuk yang tingkat umur harapan hidup di Papua dan Papua Barat dari 64 tahun di 2010 meningkat menjadi 66 tahun. Hal ini masih jauh dari rata-rata nasional yang mendekati 72 tahun.
"Meski ada peningkatan, namun tren dalam 10 tahun ini tidak mendekat, artinya gap-nya tetap melebar," jelasnya.
Sementara dari tingkat persalinan ditolong tenaga kesehatan, di Papua pada posisi 59 di tahun 2015. Pergerakannya naik turun hingga akhirnya flat di 2020. Sementara rata-rata nasional mendekati 94% di 2020. Sementara Papua Barat masih berada di bawah rata-rata nasional.
Ketiga, tingkat infrastruktur di Papua dan Papua Barat yang dilihat dari tingkat akses air minum dan sanitasi. Akses di Papua terjadi perbaikan menjadi 60%, Papua Barat mendekati 70%. Sementara rata-rata nasional mendekati 80%.
"Artinya rata-rata peningkatan akses air minum yang layak di Papua masih tertinggal dan perbaikannya tidak secepat di Papua Barat maupun nasional," ujarnya.
Keempat, kesejahteraan yang dilihat dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Papua pada tahun 2010 berada di kisaran 53%, sedangkan nasional di 66% dan Papua Barat di 59%. Trennya selama 10 tahun terakhir memang membaik tapi tidak terjadi penurunan gap.
Menurut Sri Mulyani, jika kesenjangan menurun seharusnya tren perbaikan di Papua dan Papua Barat harusnya lebih tajam naiknya sehingga mendekati rata-rata nasional. Di tahun 2020, IPM Papua berada di level 58% sementara Papua Barat sekitar 63%.
Sementara dilihat dari tingkat kemiskinan, di Papua mengalami penurunan dari 35% turun menjadi sekitar 30%. Sementara Papua Barat dari sekitar 30% turun ke level 20%. Namun jika dibandingkan dengan rata-rata nasional masih sangat jauh, rata-rata nasional sempat menyentuh level di bawah 10%.
"Jadi dari otsus selama 20 tahun, kita memotret dalam 10 tahun terakhir dari berbagai indikator memang ada perbaikan namun tidak secepat atau tidak banyak berbeda sehingga konsep kesenjangan yang harusnya bisa ditutup dengan adanya pemihakan dan otsus mungkin belum terlihat di dalam hasil kualitas kesejahteraan masyarakat Papua," ungkapnya.