Pengusaha Jawab Tudingan Kartel yang Bikin Harga Minyak Goreng Mahal

Pengusaha Jawab Tudingan Kartel yang Bikin Harga Minyak Goreng Mahal

Trio Hamdani - detikFinance
Rabu, 16 Feb 2022 06:31 WIB
Kemendag mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) untuk minyak goreng curah, kemasan sederhana, dan premium. Kebijakan itu berlaku mulai hari ini
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Pengusaha dituding telah melakukan kartel sehingga menyebabkan harga minyak goreng meroket beberapa waktu terakhir. Tudingan kartel diendus oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menerangkan bahwa harga minyak goreng sebelumnya tinggi karena efek Natal dan Tahun Baru 2022. Saat ini momen itu sudah berlalu tapi harga masih tinggi.

"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ada larangan terkait praktek usaha tidak sehat, monopoli, oligopoli, hingga kartel. Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen," katanya kepada detikcom 10 Januari 2022.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KPPU juga mengendus praktik kartel dalam fenomena naiknya harga minyak goreng. Kartel yang dimaksud ini merupakan permainan harga dari pengusaha minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan produsen minyak goreng.

"Sinyal kartel ini terbaca, terbukti dengan kompaknya (produsen CPO dan minyak goreng) yang menaikkan harga minyak goreng. Padahal biaya produksi kepala sawit tidak ada kenaikan," kata Komisioner KPPU, Ukay Karyadi dalam forum jurnalis secara daring 20 Januari 2022.

ADVERTISEMENT

Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk Santosa menegaskan bahwa pengusaha industri kelapa sawit berkomitmen untuk membantu pemerintah menjaga stabilitas harga minyak goreng, disamping tetap berupaya menjaga profitabilitas perusahaan.

"Isu minyak goreng ini seolah-olah ada kartel, saya nggak tahu benarnya bagaimana, tapi rasanya komitmen seluruh pelaku industri kelapa sawit itu juga melakukan balancing, antara kebutuhan kita untuk menunjukkan kinerja sebagai perusahaan yang mencari profit dengan kontribusi sosial termasuk stabilitas harga minyak goreng. Bersama dengan pemerintah, kita bekerja keras supaya itu bisa tercapai secepatnya," katanya dalam bincang virtual, Selasa (15/2/2022).

Dia menjelaskan bahwa industri sawit diterpa banyak isu dan persepsi negatif, termasuk minyak goreng yang belakangan ini melambung.

"Isu-isu di sawit ini sangat banyak, dan persepsi sebagian besar terutama masyarakat dunia terhadap sawit begitu negatif. Saya cukup senang kalau melihat perkembangan 10 tahun terakhir sudah sangat positif. Kalau kita lihat 10 tahun awal kita setup, bagaimana kita mencoba bersama dengan GAPKI mengubah persepsi bahwa sawit itu tidak semuanya jelek," tuturnya.

Sejujurnya, pihaknya juga khawatir jika harga komoditas minyak sawit atau crude palm oil (CPO) terus menanjak karena akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng. Waktu itu belum berlaku kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Lanjut ke halaman berikutnya

"Memang dua bulan terakhir saya lihat yang tadinya kita tahun lalu cukup positif, kontribusi terhadap ekonomi cukup tinggi tapi kalau harga terlalu tinggi, saya khawatir, tahun lalu juga agak khawatir. Semua kalau berlebihan itu pasti ada dampaknya dan kita rasakan kan harga minyak goreng naik, pun salah lagi nih," jelasnya.

Hal itu tentu menjadi dilema. Sebab, jika harga kelapa sawit anjlok akan memukul industri kelapa sawit itu sendiri.

Keheranan juga muncul karena Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Hal itu menimbulkan pertanyaan, kenapa harga minyak goreng melambung tinggi di negara kaya sawit? Santosa buka suara akan hal tersebut.

"Ada lagi yang berpendapat begini, ini kita produksi, produksi Indonesia kenapa dijual ke Indonesianya mahal sekali? ini namanya komoditi ya kan, waktu harga murah juga, (harga) dunianya murah, Indonesianya murah juga," katanya.

Jadi, Indonesia mengikuti harga CPO dunia. Dia menjelaskan di saat harga CPO dunia turun pun getahnya dirasakan oleh pelaku industri sawit dalam negeri. Bahkan ketika harga CPO turun, petani sampai kesulitan membeli pupuk.

"Waktu petani pada rugi karena nggak bisa sampai beli pupuk karena waktu itu saya ingat 2018 itu pembelian buah per kilo (kg) itu di bawah Rp 1.000, mungkin sampai ke tangan petani sesudah dipotong transfer paling tinggal Rp 800, nggak mungkin dia beli pupuk ya kan," tuturnya.

Harga jual minyak goreng pun kala itu dipatok Rp 11.000 per liter sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebelum direvisi. Dia menjelaskan keuntungan yang diterima petani pun tak seberapa.

"Apakah petaninya ada yang nyumbang? kan nggak ada juga. Kemudian ini harga enam bulan terakhir naik tinggi, baru 6 bulan, sekarang sudah digebukin," papar Santoso.

Dia juga memastikan bahwa industri CPO tidak menahan suplainya ke produsen minyak goreng. Sebab, begitu kelapa sawit memasuki masa panen maka harus sesegera mungkin diolah.

"Kalau ada buah kita harus panen. Kalau tidak dipanen kan rusak. Kalau sudah jadi CPO nggak bisa lama-lama juga ditahan, gimana mau ditahan? seandainya produksi setahun 50 juta (ton), tidak boleh ekspor, memang di Indonesia mau dipakai buat apa ya kan? kalau kebutuhan bahan bakarnya 9 juta (ton), kemudian bahan makanan, minyak goreng, dan industri hanya 8 juta (ton), 16-17 juta (totalnya), lah yang 30 juta mau diapain? masa kita mau berenang pakai CPO, kan nggak bisa juga," tambahnya.



Simak Video "Ombudsman Ungkap 3 Temuan Terkait Mahal-Langkanya Minyak Goreng"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads