Dalih Ekonomi Tumbuh 5,12% Kala Gelombang PHK di Mana-mana

Retno Ayuningrum - detikFinance
Rabu, 13 Agu 2025 06:30 WIB
Ilustrasi/Foto: Rifkianto Nugroho/detikcom
Jakarta -

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 5,12% pada kuartal-II 2025, naik dari kuartal sebelumnya 4,87%. Pertumbuhan positif ini terjadi di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Policy and Program Director Prasasti Center for Policy Studies, Piter Abdullah menilai sektor ekonomi digital mampu menjadi bantalan di tengah maraknya PHK. Menurut dia, korban PHK tidak sepenuhnya langsung menganggur, namun banyak yang beralih menjadi pengemudi ojek online (ojol). Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), jumlah PHK mencapai 939.038 dari periode Agustus 2024 hingga Februari 2025.

"Yang pertama PHK itu bukan berarti kemudian yang PHK, tidur siang. Dia tetap bekerja, yang PHK itu tetap pulang dan bekerja dan di sinilah peran dari ekonomi digital sebenarnya. Kita harus bersyukur karena termasuk misalnya, baik itu Gojek, Grab, Maxim, Indrive, itu kan sebenarnya adalah bantalan untuk ketika mereka mendapatkan PHK," kata Piter dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

Piter melanjutkan, sektor ekonomi digital membantu korban PHK tetap mendapatkan penghasilan. Hal ini pula yang membuat tingkat konsumsi di masyarakat tetap terjaga sehingga tetap menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal-II 2025 yang mencapai 5,12%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2025 tumbuh 4,97%, lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu 4,93%. Komponen ini memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025.

"Artinya itu tetap membantu mereka mendapatkan penghasilan dan tetap untuk konsumsi. Dan inilah yang kemudian kalau kita lihat di data BPS, walaupun di tengah PHK yang tinggi, walaupun dengan angka-angka indikator yang menunjukkan pelemahan, ternyata pertumbuhan konsumsi kita yang dikatakan BPS itu tidak turun," imbuh dia.

Piter menerangkan konsumsi rumah tangga tidak elastis ke kelompok menengah ke atas lantaran daya beli tetap terjaga. Sementara untuk kelompok bawah, konsumsi rumah tangga bersifat sangat elastis karena mudah terkena gejolak situasi ekonomi.

Berikutnya, konsumsi rumah tangga kalangan bawah tetap terjaga lantaran pemerintah menggelontorkan bantuan sosial (bansos). Menurut Piter, penyaluran bansos menjadi bantalan bagi masyarakat kelas bawah.

Ia menilai pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih belum cukup tinggi. Namun, ia menyebut hal ini wajar untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini.

"Dan itulah yang tertampil di dalam datanya BPS, di mana pertumbuhan konsumsi kita relatif jaga, tapi itu tidak cukup tinggi ya, karena baik itu triwulan I, triwulan II, dua duanya angkanya di bawah 5%. Menurut saya sebagai ekonom angka yang wajar untuk tingkat perekonomian kita saat ini. BPS tidak mengada-ada untuk tingkat konsumsi," imbuh Piter.

Piter juga menyoroti pertumbuhan PMI manufaktur Indonesia yang menurun di tengah pertumbuhan ekonomi 5,12%. Berdasarkan data Purchasing Manager Index (PMI) yang dirilis S&P Global, PMI manufaktur Indonesia berada di level 49,2 pada Juli 2025, 46,9 di Juni, serta 47,4 di Mei.

Menurut Piter, PMI hanya sebuah survei bukanlah menjadi indikator masuknya investasi. Ia menilai angka PMI manufaktur Indonesia masih relatif tinggi.

"Indikator PMI, banyak yang dikaitkan dengan rilis bps ya, PMI nya turun kok malah pertumbuhan ekonominya tinggi. Jadi yang pertama itu PMI itu survei. Jadi PMI ini sebetulnya tentang pembelian, pembelian terkait dengan barang. Pembelian itu yang ditanya di dalam survei itu adalah pembelian ke depan, bukan yang lalu," jelasnya.

Lihat juga Video: Ancaman Puluhan Ribu Buruh RI Kena PHK gegara Trump




(rea/ara)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork