Rentang pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini berbeda dengan yang terjadi pada saat krisis moneter (krismon) 1998, pelemahan nilai tukar rupiah 732,5% dari Rp 2.000 menjadi Rp 16.650. Lalu perlukah gerakan cinta rupiah seperti pada saat krismon 1998?
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengakui gerakan tersebut belum diperlukan jika hanya sebagai antisipasi pelemahan nilai tukar.
"Kalau menurut saya nggak perlu ada gerakan cinta rupiah. Dari dulu saya juga nggak setuju," kata Piter saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Selasa (4/9/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Gerakan itu justru memunculkan persepsi kondisi rupiah sudah demikian buruknya. Sementara kondisi rupiah sebenarnya belum begitu buruk," jelas dia.
Sementara itu, ekonom dari INDEF Bhima Yudisthira pun menilai gerakan cinta rupiah belum diperlukan, apalagi porsi dolar yang dipegang masyarakat terbilang sedikit.
Menurut dia, yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah memulangkan devisa hasil ekspor (DHE) ke tanah air. Sebab, berdasarkan catatannya per Juni 2018 DHE yang dihasilkan USD 69,88 miliar. DHE yang masuk ke perbankan domestik sekitar USD 64,74 miliar (92.6%). Sedangkan yang dikonversi ke rupiah USD 8,62 miliar (13.3%).
Lalu, Lanjut Bhima, Data BI Januari-Mei 2018, dari total US$ 59,09 miliar DHE yang dihasilkan, ada sekitar 92,9% atau US$ 54,9 miliar yang ditaruh di perbankan dalam negeri dan hanya sekitar 13,7% sebesar US$ 7,516 Miliar yang dikonversikan ke dalam mata uang rupiah. (hek/hns)