Penggunaan baru dan terbarukan (EBT) masih sangat terbatas di Indonesia. Hal itu pun diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menjadi salah satu pembicara dalam Forum ke-7 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dengan tema Green Finance Investment yang digelar secara virtual.
Ia mengatakan, ada satu faktor utama yang masih menghambat pengembangan EBT di Indonesia, yakni harga.
"Kita harus meninggalkan batu bara, minyak dan gas. Kita punya sumber EBT seperti geothermal, hydro, dan sekarang juga ada solar, dan bahkan angin. Masalahnya itu selalu soal harga yang tidak mencakup insentif yang tepat," kata Sri Mulyani, Jumat (9/10/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, EBT secara umum masih dipandang sebagai sumber energi yang mahal dan tinggi risiko. Oleh sebab itu, untuk mendorong produksi EBT, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang sulit untuk pemerintah.
"Saat ini, energi terbarukan sudah dianggap lebih mahal dan tinggi risikonya. Contohnya Indonesia punya banyak potensi geothermal, tapi untuk bisa menyediakan harga yang tepat di produk final, pemerintah harus menjelaskan isu soal risiko eksplorasinya. Nantinya dengan itu kita akan bisa memberikan garansi untuk eksplorasi, dan juga subsidi untuk di investor di EBT ini," papar Sri Mulyani.
Baca juga: Masalah Harga Jadi Ganjalan Pengembangan EBT |
Ia mengatakan, cara jitu untuk mendorong penggunaan EBT ini ialah menyeimbangkan harga EBT dengan bahan bakar fosil agar masyarakat mau menggunakannya.
"Tentu saja kita harus memastikan harganya harus terjangkau antara solar yang disubsidi, karena kita masih memberikan subsidi, dengan biofuel, atau sumber EBT lainnya. Ini adalah area-area yang kita mau address lebih konsisten menggunakan instrumen pajak seperti insentif, perpajakan, dan juga garansi dalam bentuk subsidi," imbuh Sri Mulyani.