Namun, selain hambatan harga, kerja sama internasional yang ada masih belum sepenuhnya mendukung agenda dalam perlindungan lingkungan dan perubahan iklim ini. Contohnya, Indonesia sudah menerbitkan sukuk global seperti green bond atau obligasi berwawasan lingkungan, sayangnya peminat daripada green bond itu masih sedikit.
"Saya harus mengakui, sejak kita terbitkan pada tahun 2018 sampai sekarang, kami belum melihat perbedaan harga dari investor internasional. Meski ada awareness dan semangat tentang perubahan iklim, kami belum sepenuhnya melihat itu, dan juga dampaknya pada instrumen yang akan memberikan nilai lebih baik jika menggunakan EBT," tutur dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh sebab itu, dalam forum itu ia mengajak berbagai negara, organisasi internasional untuk mendukung segala bentuk kerja sama dalam agenda perlindungan lingkungan dan pencegahan perubahan iklim, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia.
"Dan ini adalah pekerjaan rumah (PR). Apakah komitmen internasional bisa benar-benar merefleksi untuk menciptakan perbedaan harga, sehingga ini akan memberikan sinyal adanya komitmen dari semua pihak baik fund manager, dan negara maju yang bisa mengarahkan harga yang tepat. Dan itu paling penting untuk negara-negara yang sudah berupaya, terutama negara berkembang seperti Indonesia yang terus berkomitmen atau memprioritaskan program yang berkaitan dengan isu perubahan iklim dan lingkungan," tandasnya.
(fdl/fdl)