Jakarta -
Kehadiran pinjam meminjam online atau fintech di era teknologi yang berkembang pesat tentu tidak bisa dihindari. Menjamurnya fintech di Indonesia sering menjadi masalah, meskipun di sisi lain juga jadi jawaban bagi masyarakat kecil yang membutuhkan pendanaan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi pengatur sekaligus pengawas dunia keuangan sudah sering dibuat pusing hadirnya industri baru ini. Mulai dari banyaknya aduan dari masyarakat yang mengaku menjadi korban, hingga fintech-fintech bandel tak berizin.
Sudah sekitar 900 platform pinjol yang ditutup oleh OJK. Tetapi tetap saja mereka muncul lagi dengan nama yang berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diduga maraknya pinjol abal-abal juga lantaran pasar di Indonesia yang masih sangat empuk. Banyak dari nasabah yang belum paham betul atas aturan mainnya. Sehingga mereka terjebak dalam 'lingkaran setan'
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, dari sisi lembaga fintech peer to peer lending memang banyak yang tak beretika. Mereka tidak melanggar aturan tapi dia menyebutnya sebagai fintech tak beretika.
"Bayangin kasih pinjam Rp 100 ribu sehari. Pinjam Rp 100 ribu dia ngeluarin Rp 100 ribu. Setiap hari pinjam. Itu masa mau ditangkap semua?" ujarnya dalam acara seminar Mencari Format Fintech yang Ramah Konsumen di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Banyak juga, kata Wimboh, pelaku Fintech yang menerapkan bunga yang sangat tinggi dan mencekik. Untuk fintech yang seperti itu, OJK sering mengambil tindakan dengan menutup platformnya.
"Mau dilarang? itu siapa juga kita enggak tahu. Pagi hari ditutup platformnya, sorenya dia buka lagi pakai nama yang lain," tambahnya.
Hingga saat ini pinjaman online (pinjol) abal-abal masih menjamur. Salah satunya juga karena masih banyak nasabah yang tak beretika.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menerangakn, OJK pada dasarnya menyisir pinjol ilegal berdasarkan izin dan terdaftar. Fintech yang berizin juga diharuskan tergabung menjadi anggota Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech).
"Bagaimana OJK mengawasinnya, ya kita minta mereka berkumpul dalam satu asosiasi. Mereka berjanji sendiri untuk memenuhi kaidah-kaidah dalam asosiasi," ujarnya.
Wimboh menjelaskan, asosiasi fintech bukan hanya menjadi wadah bagi para pelakunya tapi juga mengatur kegiataannya. Di dalamnya terdapat kode etik yang harus diikuti anggotanya.
"Salah satunya dalam kode etik itu mengatur bunga dan besaran pinjaman," tambahnya.
Namun tetap saja pinjol abal-abal yang merugikan terus menerus muncul. OJK juga sudah sering melakukan tindakan dengan menutup platform-nya. Tapi mereka yang bandel kembali membuat platform dengan nama yang berbeda
"Fintech yang bandel juga banyak kita tututup. Yang sudah kita tutup kira-kira 900an. Banyak, ya itu kita tutup sore, pagi buka lagi, begitu terus," tambahnya.
Sulitnya memberantas pinjol abal-abal tidak lepas dari nasabahnya juga. Menurut Wimboh masih banyak juga dari nasabah yang dia sebut tak beretika ketika melakukan pinjaman online. Bahkan menurut catatannya ada nasabah yang nekad melakukan pinjaman dari 20 fintech sekaligus.
"Dari segi peminjam ada juga yang pinjam malam-malam 20 kali lewat pinjaman online. Jadi yang tidak punya etika bukan cuma fintech-nya tapi juga peminjam. Giliran ditagih ribut, ngadu kemana-mana," tegasnya.
Untuk itu, OJK mengimbau kepada masyarakat agar bijak dalam memanfaatkan pinjaman online. Dia juga menyarankan agar meminjam kepada fintech yang sudah terdaftar saja di OJK dan tergabung dalam asosiasi fintech.
Pinjaman online atau fintech peer to peer lending hadir seakan menjadi jawaban bagi masyarakat yang sulit mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan. Namun, masih banyak masyarakat yang justru terjebak dalam 'lingkaran setan'.
Banyak dari pinjol yang dianggap menerapkan kegiatan bisnis yang merugikan dan menjebak nasabah. Misalnya, jumlah pinjaman yang sangat kecil dengan persyaratan yang sangat mudah, kemudian dibalut dengan bunga yang sangat tinggi.
Namun hal itu juga sebenarnya bisa dihindari asalkan nasabahnya paham atas aturan mainnya. Sayangnya masih banyak masyarakat yang menjadi nasabah pinjol malas menbaca ketentuan yang diterapkan lembaga pinjol.
"Indeks literasi digital dan indeks keberdayaan konsumen. Konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan berlaku. Kalaupun membaca tidak paham isi," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Tulus menilai saat ini masih banyak masyarakat yang menjadi korban pinjol. Hal itu terlihat dari banyaknya aduan uang masuk ke YLKI.
"Pinjol menduduki ranking ketiga yang dikeluhan masyarakat di 2018. Keluhan utama penyedotan data pribadi," tambahnya.
Tahun lalu, OJK sendiri sudah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Aturan itu sebagai ketentuan yang memayungi pengawasan dan pengaturan industri financial technology (fintech).
Namun menurut Tulus, aturan yang ada saat ini masih belum jelas untuk mengatur industri fintech di RI. Bahkan dia menilai aturan yang ada belum adil untuk nasabah dan dianggap hanya sebagai target bisnis.
Halaman Selanjutnya
Halaman