Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dikritik atas pernyataan yang melarang pihak perbankan memfasilitasi transaksi kripto. Padahal, kripto diakui sebagai salah satu komoditas yang diperdagangkan dengan pengawasan di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
OJK meminta industri perbankan agar penggunaan rekening bank tidak dijadikan sebagai penampung dana dari kegiatan melanggar hukum, termasuk kripto. Hal itu merupakan buntut dari maraknya penipuan investasi dan kejahatan bermodus skema ponzi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai pernyataan OJK itu menandakan adanya ketidakselarasan antar instansi pemerintah. Sebab, kripto sendiri telah dirancang sebagai komoditas oleh Bappebti di bawah Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Bappebti juga telah merancang aturan terkait perdagangan dan pedagang kripto secara resmi. Dengan demikian, selama transaksi dilakukan oleh pedagang kripto terdaftar dan diawasi Bappebti, skema perdagangan kripto layaknya komoditas ataupun produk derivatif lainnya.
"Di satu sisi Bappebti berupaya memfasilitasi industri ini, tapi di sisi lain ada institusi lain yang punya pandangan lain. OJK dan Bappebti ini ngobrol dululah, tren aset kripto ini kan sudah jalan beberapa tahun terakhir," kata Nailul dikutip detikcom, Selasa (8/2/2022).
Meskipun begitu, dia memahami sudut pandang OJK yang masih mempersepsikan bahwa aset kripto berpotensi sebagai alat tukar layaknya uang fiat, karena namanya adalah cryptocurrency. Sedangkan alat tukar resmi adalah rupiah sebagaimana diatur perundang-undangan.
"Tapi kan sejak awal ketika Bapppebti memfasilitasinya, kesepakatannya di Indonesia hanya boleh digunakan sebagai aset investasi. Bukan alat transaksi," jelas Nailul.
Lihat juga video 'OJK Sebut Pandemi COVID19 Peluang Investasi Lebih Besar':
Lanjut halaman berikutnya.
(toy/fdl)