-
Saham-saham produsen rokok ikut terjungkal seiring melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tren penurunan saham-saham rokok terlihat sejak awal tahun.
Lesunya industri rokok tak hanya dirasakan di pasar saham. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi dari 600, saat ini hanya 100 pabrik saja yang masih aktif berproduksi.
Melansir data RTI, Minggu (6/5/2018), saham PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) mulai tren penurunan pada 24 Januari 2018. Pada saat itu saham HMSP turun 4,55% dari Rp 5.500 ke Rp 5.250.
Sejak saat itu saham HMSP terus turun hingga posisi kemarin berada di level Rp 3.280. Itu artinya saham HMSP sudah anjlok 40,36%.
Saham PT Gudang Garam Tbk (GGRM) juga mulai jatuh dari tanggal yang sama. Pada 24 Januari 2018 saham GGRM turun tipis 0,09 dari Rp 85.300 ke Rp 85.275.
Sejak saat itu saham GGRM bergerak fluktuatif cenderung menurun. Kemarin saham GGRM sudah berada di level Rp 67.200. Jika dihitung saham GGRM sudah jatuh 21,21% dari posisi tertingginya.
Sementara saham PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) bernasib sedikit berbeda. Saham ini sebenarnya juga cukup berfluktuatif.
Jika dilihat dari awal tahun saham WIIM mencapai posisi tertingginya pada 26 Februari 2018 yang ditutup di level Rp 296. Namun kemarin saham WIIM sudah berada di level Rp 254 atau sudah turun 14,18%.
Jika dilihat dari laporan keuangan emiten rokok sebenarnya tidak telalu buruk. Seperti misalnya PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) laba bersihnya di 2017 turun tipis 0,71% dari Rp 12,76 triliun di 2016 menjadi Rp 12,67 triliun.
HMSP sebenarnya mencatatkan kenaikan penjualan bersih yang lumayan, dari Rp 95,46 triliun di 2016 menjadi Rp 99,09 triliun. Namun beban pokok penjualan perseroan juga naik dari Rp 761,6 triliun menjadi Rp 74,87 triliun. Laba kotor pun hanya naik dari Rp 23,8 triliun menjadi Rp 24,2 triliun.
Pos beban lainnya juga mengalami kenaikan, seperti beban penjualan yang naik dari Rp 6 triliun menjadi Rp 6,2 triliun. Beban umum dan administrasi juga naik dari Rp 1,7 triliun menjadi Rp 1,8 triliun. Hal itu membuat laba sebelum pajak penghasilan HMSP turun dari Rp 17,01 triliun menjadi Rp 16,89 triliun.
PT Gudang Garam Tbk (GGRM) bahkan mampu mencatatkan kenaikan laba bersih di tahun buku 2017. Laba bersih GGRM pada 2017 sebesar Rp 7,75 triliun, naik 16,07% dari laba bersih 2016 sebesar Rp 6,67 triliun.
Pendapatan GGRM di 2017 juga naik 9,22% dari Rp 76,27 triliun menjadi Rp 83,3 triliun. Meskipun beban biaya pokok penjualan perusahaan juga naik dari Rp 59,65 triliun menjadi Rp 65,08 triliun.
Beban perusahaan lainnya juga tercatat naik, seperti beban usaha naik dari Rp 6,6 triliun menjadi Rp 7,1 triliun. Beban lainnya juga naik dari posisi Rp 13,5 miliar menjadi Rp 32,8 miliar.
Namun untuk PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM) bernasib berbeda. Produsen rokok ini mengalami penurunan laba besih di 2017 sebesar 61,81% dari Rp 106,15 miliar di 2016 menjadi Rp 40,53 miliar.
Penjualan bersih WIIM juga tercatat turun 12,4% dari Rp 1,68 triliun menjadi Rp 1,47 triliun. Meskipun beban pokok penjualan perseroan turun dari Rp 1,17 triliun menjadi Rp 1,04 triliun.
Beban usaha perseroan juga tercatat stabil, seperti beban penjualan dari Rp 224,03 miliar menjadi Rp 230,13 miliar, serta beban umum dan administrasi sebesar dari Rp 150,8 miliar menjadi Rp 158,48 miliar.
Saham-saham produsen rokok ternyata juga ikut terjungkal. Tren penurunan saham-saham rokok terlihat sejak awal tahun. Nuansa negatif juga dirasakan di sektor riil.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat, ada penurunan jumlah pabrik rokok yang aktif berproduksi.
"Pabrikan rokok di Indonesia yang memiliki izin sebanyak 600 pabrik. Namun hanya 100 pabrik yang masih aktif berproduksi setiap harinya," kata Ketua GAPPRI Ismanu Soemiran kepada detikFinance, Minggu (6/5/2018).
Tak berproduksinya sejumlah pabrik tersebut, lanjut dia, turut berdampak pada penyerapan tenaga kerja di sektor produksi rokok.
"Yang aktif ini mayoritas pabrik besar. Jumlah karyawan juga ada penurunan, sehingga dari 600 ribu karyawan kini yang tersisa 450 ribu karyawan," katanya.
Ketua GAPPRI Ismanu Soemiran mengatakan, pasca penerapan kenaikan tarif cukai yang rata-rata 10,04% mulai awal 2018 ini, kinerja industri rokok semakin terpuruk.
"Pemerintah perlu melihat industri kami satu semester ini bisa turun 1%, karena pasar yang melemah dan harga rokok sudah terlalu tinggi. Harga rokok sudah sampai titik kulminasi. Kalau pemerintah terus naikkan lagi, secara kuantitas akan turun," kata Soemiran ketika dihubungi, Minggu (6/5/2018).
Saat ini, dia mengatakan, jumlah produksi rokok per batang telah mengalami penurunan. Namun ia tidak merinci besarannya. Hal ini, kata dia, dikarenakan tarif cukai yang naik sehingga harga rokok pun ikut meroket.
"Jadi pendapatan tetap tidak dapat dibandingkan dengan produksi," jelasnya.