Jakarta -
Uni Eropa (UE) disebut melancarkan kampanye hitam terhadap produk kelapa sawit Indonesia. Masyarakat Eropa menganggap produk sawit Indonesia merusak lingkungan dan memiliki dampak yang tidak baik.
Namun, Kuasa Usaha Ad Interim Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles Michel-Geurts menepis hal tersebut.
Selain persoalan tersebut, isu soal biodiesel Indonesia yang dikenakan tarif bea masuk 8-18% ke Eropa juga dianggap UE sebagai nilai yang kecil.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak berita lengkapnya di sini.
Charles Michel-Geurts mengatakan, otoritas UE tak pernah mempengaruhi pasar lewat kampanye hitam.
"Kami tidak punya urusan dengan perusahaan makanan yang memberi label 'free palm oil' pada produk mereka. Itu adalah kesadaran pasar sendiri. Kesadaran untuk menjalankan kehidupan yang lebih baik," tutur Geurts dalam media briefing kerja sama Uni Eropa dan Indonesia terkait kelapa sawit, di Hotel Pullman, Jakarta, Kamis (5/9).
Menurut Geurts, menurunnya penjualan kelapa sawit sepenuhnya karena mekanisme pasar. Perubahan kebiasaan masyarakat Eropa yang mulai mengonsumsi produk yang ramah lingkungan dan juga sehat diklaim tak hanya terjadi pada sawit, tetapi juga terjadi pada produk-produk yang mengandung gluten, kimia, dan sebagainya.
"Saya bisa ceritakan bagaimana produsen gula yang tidak senang dengan perusahaan pangan yang mengampanyekan sugar free, atau produsen gluten yang frustrasi dengan kampanye 'gluten free'. Seperti itulah pasar Eropa. Selamat datang di Eropa," kata Geurts.
Uni Eropa telah memberlakukan tarif bea masuk terhadap biodiesel Indonesia sebesar 8-18%. Pemerintah Indonesia pun merasa keberatan dengan hal tersebut.
Menanggapi hal itu, Head of the Economic and Trade Section Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Raffaele Quarto mengatakan, tarif ini diberlakukan atas dasar keadilan. Besaran tarif yang diberlakukan untuk biodiesel Indonesia katanya juga lebih rendah dibandingkan kebijakan negara lain.
"Tarif yang dikenakan terhadap biodiesel Indonesia, sebesar 8-18% sebenarnya adalah angka yang kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, USA saja memberlakukan tarif anti subsidi 30-50%, dan sebagainya," kata Raffaele.
Selain itu, Raffaele mengatakan, dikenakannya tarif ini juga didasari oleh laporan-laporan dari perusahaan yang memproduksi biodiesel di Eropa. Perusahaan-perusahaan tersebut menilai biodiesel Indonesia sangat murah, bahkan lebih murah dari produksi mereka.
"Jadi perusahaan yang memproduksi biodiesel di Eropa memprotes karena biodiesel dari Indonesia itu disubsidi, dan itu membuat harga biodiesel Indonesia lebih murah dari yang seharusnya," ujar Rafaelle.
Uni Eropa (UE) telah memberlakukan tarif terhadap biodiesel Indonesia sebesar 8-18% sejak 13 Agustus 2019. Pemberlakuan tarif tersebut hanya sementara.
Konselor Bagian Ekonomi dan Perdagangan UE Levente Albert mengungkapkan diberlakukannya tarif tersebut bukan keputusan final. Pada Desember mendatang, UE akan menggelar pertemuan dengan pemerintah Indonesia di Brussel, Belgia untuk memberi kesempatan bagi pemerintah Indonesia menyampaikan keberatannya.
"Prosedur terakhir ada di bulan Desember. EU dan pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Perdagangan akan mengadakan pertemuan di Brussel dan Indonesia mempunyai hak untuk menyampaikan keberatannya, dan kami juga akan mendengarkan," kata Albert.
Dengan begitu, diberlakukannya tarif 8-18% terhadap biodiesel yang diekspor ke Eropa saat ini masih keputusan sementara. Setelah diadakannya pertemuan UE dengan pemerintah Indonesia, maka akan ditetapkan keputusan final apakah tarif 8-18% tetap diberlakukan atau pun tidak.
"Sampai kami mendapatkan keputusan final di bulan Desember, tarif 8-18% adalah tarif sementara dan keputusan final nanti bisa tarifnya tetap berlaku 8-18%, bisa juga tak lagi berlaku. Tapi untuk saat ini, itu adalah ketentuan profesional, yaitu 8-18%," jelas Albert.
Uni Eropa (UE) merespons wacana pemerintah Indonesia yang mau mengenakan bea masuk 20-25% terhadap produk olahan susu. Langkah ini dilakukan untuk membalas UE yang mengenakan bea masuk 8-18% terhadap biodiesel Indonesia.
Head of the Economic and Trade Section Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Raffaele Quarto mengatakan wacana tersebut melanggar ketentuan World Trade Organization (WTO) dan juga berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia.
"Inisiasi ini tentunya melanggar peraturan WTO. Tak hanya itu, hal ini juga tak baik untuk perekonomian Indonesia," tutur Raffaele.
Kemudian, ia mengatakan, produk olahan susu dari Eropa merupakan bahan baku dari berbagai industri makanan, minuman, dan sebagainya di Indonesia. Terutama produk susu bubuk dari Eropa yang kualitasnya sudah terbukti cocok untuk industri di Indonesia. Dengan begitu, wacana ini hanya akan memberikan kerugian bagi berbagai industri di Indonesia yang menggunakan produk susu olahan dari Eropa.
"Banyak perusahaan di Indonesia yang menggunakan produk olahan susu dari Eropa sebagai bahan baku. Mereka tentunya akan terdampak. Contohnya, Eropa merupakan pemasok susu bubuk di Indonesia yang digunakan oleh berbagai industri. Kalau dikenakan tarif sebesar itu, hanya akan memberikan kerugian," jelas dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman