Aturan Baru Uang Elektronik Dirilis, Ini Rinciannya

Aturan Baru Uang Elektronik Dirilis, Ini Rinciannya

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Selasa, 08 Mei 2018 08:30 WIB
Aturan Baru Uang Elektronik Dirilis, Ini Rinciannya
Foto: Tim Infografis: Nadia Permatasari
Jakarta - Bank Indonesia (BI) merilis penyesuaian aturan tentang uang elektronik atau e-money. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 20/6/PBI/2018.

Dengan terbitnya aturan ini, maka ada sejumlah penyesuaian dalam hal penyelenggaraan uang elektronik.

Secara garis besar, PBI ini mengatur perihal tata cara pengajuan dan penerbitan izin penyelenggara uang elektronik, pembatasan minimal modal disetor hingga pembatasan porsi pemegang saham asing dalam perusahaan penyedia layanan uang elektronik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PBI ini berlaku begitu ditetapkan tanggal 4 Mei hari jumat. Pihak yang diatur adalah bank, dan lembaga selain bank yang sedang dalam proses perizinan maupun yang sudah memiliki izin.

Berikut aturan lengkapnya:

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Onny Wijanarko menjelaskan ada sebanyak 15 pokok aturan yang disesuaikan. Mulai dari prinsip penyelenggaraan uang elektronik, uang elektronik open loop dan closed loop, serta pengelompokkan izin penyelenggara jasa sistem pembayaran.

Kemudian, tentang minimum modal disetor, komposisi saham, representations and warranties, fit and proper test, kepemilikan tunggal, holding period, dana float, cross border transaction, peningkatan limit uang elektronik, pengawasan integrasi, dan masa peralihan bagi pihak yang diatur.

Onny menjelaskan bahwa ada sejumlah hal yang melatar belakangi penyesuaian aturan ini. Mulai dari model bisnis uang elektronik yang semakin bervariasi seiring perkembangan teknologi.

"Memang yang pertama bisnis uang elektronik ini semakin bervariasi seiring peningkatan teknologi dan peningkatan kebutuhan masyarakat," kata Onny di Gedung BI, Jakarta, Senin (7/5/2018).

Selain itu, kata Onny, penyelenggaraan uang elektronik perlu didasarkan pada kondisi keuangan yang baik agar mampu memberikan manfaat yang optimal bagi perekonomian Indonesia.

"Ketiga keterkaitan penyelenggaraan uang elektronik dan kegiatan bisnis lain makin erat dan kompleks, khususnya yang dilakukan dalam satu entitas atau kelompok bisnis yang sama," katanya.

Hal terakhir yang mendasari adanya penyesuaian ini ialah disparitas kinerja penyelenggara berizin dan makin beragamnya pihak yang mengajukan permohonan izin uang elektronik.

Onny mengatakan bisnis Front End melingkupi penerbit uang elektronik, acquiring dan payment gateway alias gerbang pembayaran. Sementara untuk bisnis Back End melingkupi switching dan settlement.

"Jadi tidak boleh satu perusahaan mengajukan izin untuk dua kelompok perizinan yang berbeda. Misalnya dia mengajukan izin penerbitan uang elektronik (kelompok Front End) lalu dia mengajukan izin juga untuk switching atau settlement (kelompok Back End). Itu nggak boleh," kata Onny.

Perbedaan lainnya adalah terkait adanya holding period izin selama lima tahun. Artinya, pemegang izin tidak boleh berpindah lini bisnis atau menyerahkan izinnya ke perusahaan lain selama 5 tahun.

"Kenapa kita beri holding periode, supaya izin ini tidak diperjualbelikan. Makanya, perusahaan yang sudah dapat izin akan kita monitor sekali supaya tidak terjadi makelar izin," sebutnya.

Ia menambahkan, aspek lain yang dibahas dalam PBI uang elektronik terbaru ini adalah terkait dengan porsi pemegang saham asing dalam perusahaan penyedia layanan uang elektronik.

"kalau sebelumnya belum diatur, sekarang kita atur. Komposisi kepemilikan saham bagi Penerbit Lembaga Selain Bank harus paling sedikit 51% Warga Negara Indonesia (WNI) atau Badan Hukum Indonesia," sebut dia.

Artinya, porsi pemegang saham asing tak boleh lebih dari 49%.


Dalam aturan baru ini, salah satu yang dibahas adalah soal modal minimum yang harus dimiliki perusahaan uang elektronik saat mengajukan izin di Bank Indonesia.

Onny Widjanarko, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, menjelaskan, dalam aturan baru ini disinggung minimal modal disetor yakni minimal Rp 3 miliar saat pertama mengajukan izin.

"Jadi saat dia mengajukan izin pertama kali, dia (perusahaan uang elektronik) harus memiliki modal disetor sebesar Rp 3 miliar," ujar Onny.

Selain itu, besaran modal yang wajib disetor juga akan meningkat berdasarkan nilai floating fund, alias akumulasi dari seluruh dana mengendap yang belum digunakan konsumen dalam uang elektroniknya.

Bila floating fund meningkat jadi Rp 3-5 miliar, maka modal disetor ditetapkan sebesar Rp 6 miliar. Bila floating fund naik lagi menjadi Rp 5-9 miliar, maka modal di setor menjadi Rp 10 miliar sementara bila floating fund lebih dari Rp 9 miliar, maka modal disetor haris sebesar Rp 10 miliar ditambah 3% dari floating fund.

Kenapa batas minimal modal disetor harus dibatasi?

Pembatasan modal disetor ini, kata Onny, dimaksudkan untuk memberikan kepastian keamanan pada konsumen atas dana yang sudah mereka tempatkan di uang elektronik. Dengan pembatasan ini, dipastikan dana pengguna aman dan tidak diganggu gugat oleh perusahaan penyedia layanan.

"Karena uang elektronik di kartu itu hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengguna dan pemegang kartu, maka untuk melakukan ekspansi dan pengembangan layanan, perusahaan penyedia uang elektronik harus punya modal sendiri. makanya ada kewajiban modal disetor tadi," tandas dia.


Salah satu aturan baru yang disesuaikan oleh BI ialah batas maksimal dari saldo uang elektronik. Batas saldo uang elektronik yang tidak memiliki data pemilik atau unregistered akan dinaikkan batas maksimumnya dari Rp 1 juta menjadi Rp 2 juta.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menjelaskan penambahan batas saldo ini dilakukan melihat dari kebutuhan masyarakat yang meningkat akan uang elektronik. Contohnya dalam saldo e-Toll yang biasa digunakan.

"Limitnya untuk yang unregistered e-money ini kami tingkatkan jadi Rp 2 juta dari yang semula Rp 1 juta. Jadi misalnya untuk transaksi di tol dia enggak usah sering-sering top up, memudahkan misalnya supir truk yang bawa bahan makanan dari luar luar Jawa ke Jawa, ini memudahkan," katanya.

Onny menjelaskan bahwa penambahan batas saldo menjadi sebesar Rp 2 juta ini tidak berisiko bagi uang elektronik. Dia menilai batas saldo ini masih dalam hal yang wajar.

"Kalau unregistered dia enggak bisa tanggung jawab ke bank, kartunya hilang ya bank enggak tanggung jawab. Jadi Rp 2 juta ini kami rasa pas," jelas dia.

Sementara, batas maksimum saldo untuk e-money alias uang elektronik yang terdapat data pemilik atau registered masih tetap atau tidak mengalami perubahan. Batas maksimumnya ialah Rp 10 juta.


Salah satu poinnya dalam penyesuaian aturan BI ialah untuk melindungi uang masyarakat yang tersimpan di dalam instrumen uang elektronik.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menjelaskan, agar uang elektronik aman, maka 70% floating fund dalam uang elektronik wajib ditempatkan di surat berharga atau instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia.

Floating fund adalah akumulasi dari seluruh dana mengendap yang belum digunakan konsumen dalam uang elektroniknya.

"Jadi dana mengendap itu 70%-nya harus ditempatkan di SBN atau disimpan di rekening Bank Indonesia," kata Onny.

Sementara, untuk 30% sisanya, BI menerapkan aturan berbeda bagi Bank BUKU 4 dan Bank non BUKU 4 atau Lembaga KeuanganNon Bank.

"Untuk bank BUKU 4, 30% floating fund-nya bisa ditempatkan di kas penerbit sendiri. Sementara bank non BUKU 4 dan Lembaga Non Bank bisa menempatkan 30% floating fund-mya di Giro di Bank Buku 4," jelasnya.

Bank yang masuk kategori BUKU 4 di Indonesia saat ini adalah Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indinesia (BNI) dan Bank Central Asia (BCA).

Kenapa floating fund hanya bisa ditempatkan di instrumen penyimpanan tersebut?

"Karena floating fund itu hanya bisa ditempatkan di instrumen yang aman, liquid dan jangka pendek," jawabnya.

Dengan cara ini, dana masyarakat yang tersimpan dan mengendap dalam bentuk uang elektronik, tetap aman dan bisa digunakan sesuai kebutuhan.

"Jadi meskipun perusahaan uang elektroniknya bangkrut, tapi uang masyarakat yang mengendap di sana tetap aman karena ditempatkan di instrumen yang aman," tegas dia.


Hide Ads