-
Pemerintah masih mencari strategi untuk menyelesaikan persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Penyedia jaminan sosial ini pun bakal diaudit menyeluruh arus keuangannya oleh BPKP.
Sampai saat ini, pemerintah hanya melakukan suntikan dana kepada BPJS Kesehatan demi menutup tunggakan jatuh tempo yang sudah membludak. Setidaknya, klaim BPJS Kesehatan defisitnya mencapai Rp 10,98 triliun pada tahun 2018.
Pemerintah pun telah menyuntikkan dana yang jika ditotal sudah mencapai Rp 10,1 triliun. Di mana tahap pertama sebesar Rp 4,9 triliun dan tahap kedua sebesar Rp 5,2 triliun.
Meskipun sudah terpenuhi, pemerintah tak ingin defisit serupa terjadi di masa depan.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebut persoalan proyeksi defisit keuangan BPJS Kesehatan sudah rampung alias balance.
Kepala BPKP Ardan Adiperdana mengatakan, rampungnya persoalan proyeksi defisit karena pemerintah sudah menyuntikkan dana tambahan sebesar Rp 5,2 triliun di tahap kedua.
"
Base on proyeksi yang sudah disampaikan ketemunya di Rp 5,2 triliun, selesai (masalah defisit 2018), iya (
balance), tapi
base on proyeksi," kata Ardan di ruang rapat Komisi IX DPR, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Berdasarkan proyeksi, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 10,98 triliun di tahun 2018. BPKP dipercayai untuk melakukan audit tahap pertama atau pada laporan semester I-2018. Di mana per September 2018 pemerintah menyuntikkan dana sebesar Rp 4,9 triliun.
Setelah itu, BPKP pun kembali melakukan audit tahap kedua yang hasilnya menyebutkan bahwa defisit BPJS masih ada Rp 6,1 triliun. Namun, setelah adanya rekonsiliasi antar kementerian lembaga yang terkait, serta adanya bauran kebijakan, maka yang dibayarkan pemerintah hanya sebesar Rp 5,2 triliun.
Dengan begitu, kata Ardan, maka persoalan defisit keuangan BPJS berdasarkan proyeksi sudah selesai atau keuangannya sudah balance.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta kepada BPKP untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap BPJS Kesehatan dan 2.400 rumah sakit di Indonesia.
Permintaan tersebut dalam rangka menjaga keuangan BPJS Kesehatan tetap sehat dan layanan kesehatan nasional berjalan dengan baik.
"Kami melalui surat kami telah mengirimkan permintaan resmi ke BPKP, setelah beberapa rapat kita sepakat kami akan meminta BPKP audit sistem dan pelayanan dari BPJS mulai dari internal bagaimana manajemen klaim, dan bagaimana identifikasi manfaat," kata Sri Mulyani.
Audit yang dilakukan BPKP ini menjadi evaluasi tahap ketiga, di mana akan dilakukan review keuangan dari Januari-Desember 2018, manajemen klaim, hingga sistem yang dijalankan oleh 2.400 rumah sakit di Indonesia. Sehingga muncul realisasi kinerja keuangan yang menyatakan defisit atau tidak.
Adapun, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun meminta BPKP untuk menyelesaikan audit keseluruhan atau tahap III ini pada pertengahan Januari 2019.
Sementara itu, Kepala BPKP Ardan Adiperdana mengatakan audit atau evaluasi tahap ketiga ini lebih kepada realisasi kinerja BPJS Kesehatan selama satu tahun penuh di 2018, sekaligus menyesuaikan manajemen klaim di rumah sakit.
"Kami diminta melakukan review tahap III, audit sistem klaim dan pelayanan yang berkaitan dengan sistem klaim, ini yang akan kita lakukan," kata Ardan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan meminta dukungan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait dengan penerapan sanksi layanan publik bagi setiap peserta yang tidak menyelesaikan kewajiban bayar iuran.
Hal itu diungkapkan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris saat rapat kerja (raker) dengan Komisi IX DPR mengenai hasil review tahap II BPKP, Jakarta, Selasa (11/12/2018).
"Kalau ini diterbitkan akan berat jika tidak mendapatkan dukungan dari DPR," kata Fahmi Idris.
Fahmi mengatakan, sanksi layanan publik yang dimaksud itu seperti para peserta yang menunggak tidak bisa mendapatkan layanan publik. Mulai dari tidak bisa perpanjang SIM, perpanjang paspor, hingga tidak bisa transaksi layanan perbankan.
Menurut dia, sanksi layanan publik ini juga sudah diterapkan oleh pemerintah Jerman. Di mana, jika masyarakat ingin masuk kuliah namun ditemukan memiliki tunggakan iuran jaminan kesehatan, maka tidak bisa kuliah.
Adapun, sanksi layanan publik ini juga lebih efisiensi dibandingkan harus dikejar sampai rumah agar para penunggak membayarkan kewajibannya.
Dalam rapat kerja dengan pemerintah, Komisi IX DPR meminta penjelasan strategi pemerintah terkait dengan penanganan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Rapat dimulai pada pukul 14.30 WIB dan selesai pada pukul 20.54 WIB atau berjalan kurang lebih 6 jam, Selasa (11/12/2018).
Adapun, beberapa kesimpulan rapat yang disepakati oleh Komisi IX DPR dan pemerintah terkait dengan penanganan defisit BPJS Kesehatan.
Berikut kesimpulannya:
1. Komisi XI DPR mengapresiasi langkah-langkah penangan defisit BPJS Kesehatan yang dilakukan pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan yang meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan audit dengan tujuan tertentu atas aset Dana Jaminan Sosial Kesehatan (DJSK) tahun 2018 yang mencakup antara lain: audit sistem dan pelayanan pada BPJS Kesehatan dan 2.400 rumah sakit, realisasi penerimaan, pengeluaran, posisi surplus/defisit arus kas DJSK, posisi saldo utang DJSK, dan rekomendasi BPKP untuk optimalisasi penerimaan dan efisiensi biaya manfaat DJSK.
2. Komisi XI DPR meminta BPKP untuk menyampaikan laporan awal audit dengan tujuan tertentu atas aset DJSK tahun 2018 sebagaimana tersebut dalam kesimpulan nomor 1 paling lambat 21 Januari 2019.
3. Komisi XI DPR mendukung penuh bantuan APBN untuk menanggulangi defisit BPJS Kesehatan tahap 2 sebesar Rp 5,26 triliun yang dibayarkan dalam dua tahap, yaitu Rp 3 triliun pada 5 Desember 2018 dan Rp 2,26 triliun pada 14 Desember 2018. Untuk itu, Komisi XI DPR mendesak BPJS Kesehatan untuk segera membayarkan tagihan klaim kepada rumah sakit dengan mengedepankan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kehati-hatian serta menyampaikan laporan secara periodik penggunaan bantuan APBN ini kepada Komisi XI DPR.
4. Komisi XI DPR terus mendukung dan mendorong perbaikan sistem Jaminan Kesehatan untuk menjamin keberlangsungan program JKN diantaranya: evaluasi iuran dengan pendekatan aktuaria, skema khusus pembiayaan untuk penyakit katastropik oleh pemerintah, dan membangun sistem IT untuk basis data dan pelayanan kesehatan yang komprehensif, kredibel, dan akuntabel yang terintegrasi dengan Kementerian/Lembaga terkait lainnya.
5. Komisi XI DPR mendesak BPJS Kesehatan untuk meningkatkan kinerja dengan memperhatikan masukan Anggota Komisi XI DPR pada rapat hari ini, antara lain: memperbaiki manajemen klaim dan tata kelola kelembagaan, meningkatkan koordinasi dan kerja sama dengan pengawas eksternal, yaitu DJSN, OJK, dan lembaga pengawas independen lain yang ditunjuk oleh pemerintah, mengevaluasi Supply Chain Financing (SCF) dengan melibatkan OJK, dan mengembangkan sistem kolektabilitas iuran peserta melalui berbagai metode pembayaran yang memudahkan serta mengevaluasi penagihan dengan metode kader JKN.
6. Komisi XI DPR mendesak Kementerian Kesehatan untuk segera menyelesaikan peraturan pelaksana Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang diamanatkan.
7. Komisi XI DPR meminta jawaban tertulis atas pertanyaan anggota pada hari ini dari seluruh pihak yang diundang paling lambat tanggal 8 Januari 2019.