Jakarta - Skandal yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya berlangsung selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya meledak sejak terkuak ada yang aneh dalam laporan keuangan di 2017.
Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo menilai apa yang terjadi di Jiwasraya seperti skema ponzi. Skema ini yang biasa digunakan dalam kegiatan bisnis MLM yang memberi keuntungan diawal kemudian meledak di akhir.
Pria yang akrab disapa Pras menjelaskan, sejak 2006 sudah tercium adanya aksi poles laporan keuangan atau window dressing. Namun dia juga heran kenapa hal itu tidak tercium oleh otoritas terkait.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"2006 sudah ada rekayasa akuntansi kok tidak terdeteksi. Itu window dressing, melakukan permak laporan keuangan seperti operasi plastik, biar kelihatan cantik. Jadi yang terjadi harusnya rugi jadi laba, atau laba kecil jadi besar," terangnya di kantor IAPI, Jakarta, Senin (13/1/2020).
Lompat ke 2012, saat itu Jiwasraya tergoda untuk keluar dari bisnis utamanya asuransi. Perusahaan mulai melirik bisnis investasi dengan mengeluarkan produk JS Saving Plan.
JS Saving plan merupakan produk asuransi jiwa yang juga merupakan produk investasi. Produk ini ditawarkan melalui perbankan atau
bancassurance.
Tidak seperti unit link yang risikonya dipegang pemegang polis, produk ini risikonya ditanggung perusahaan asuransi. Kemudian yang membuat produk ini menarik adalah tawaran return-nya yang dua kali lipat lebih tinggi dari deposito.
"Produk ini dijual melalui banyak bank, yang paling besar Standard Chartered. Lalu kenapa banyak orang Korea jadi korban karena di tawarkan juga lewat Bank KEB Hana. Deposito di bank itu ada Rp 10 triliun, masuklah Jiwasraya tawaran JS Saving Plan dengan imbalan 13%. Siapa yang nggak mau," terangnya.
Nah yang menurutnya, kesalahan manajemen adalah tidak memasukkan dana cadangan teknis. Bagi perusahaan asuransi setiap masuknya pendapatan premi maka perusahaan harus menyediakan cadangan teknis. Jika tidak ada cadangan teknis maka perusahaan rugi karena tak mampu membayar.
Nah lantaran biaya pembayaran polis yang semakin membengkak, manajemen mencari solusi dengan mencari instrumen investasi lainnya dengan harapan imbalan yang besar. Masuklah perusahaan ke saham gorengan.
"Dia cari instrumen yang seolah-olah menunjukkan kinerjanya bagus makanya investasi di saham gorengan," tambahnya.
Lalu yang bikin geleng-geleng kepala, pada 2015 Jiwasraya kembali melakukan investasi dengan membeli reksadana saham sebuah perusahaan tercatat di pasar modal dengan nilai Rp 6 triliun, yakni PT Inti Agri Resources Tbk (IIKP).
"Jiwasraya menginvestasikan sebesar Rp 6 triliun ke satu perusahaan yang menerbitkan reksadana, perusahaan itu tercatat di Bursa Efek. Perusahaan ini asetnya cuma Rp 300 miliar, omzetnya Rp 21 miliar. Dia penangkaran ikan arwana, tapi bisa menerbitkan reksadana Rp 6 triliun dan profil investasi Jiwasraya 90% ada di saham dan reksadana yang berisiko tinggi," terangnya.
Memang pada 2015 investasi Jiwasraya di reksadana saham mencapai Rp 9,29 triliun. Dari angka itu sebesar Rp 6,39 triliun ada di IIKP.
Seiring berjalannya waktu, investasi di saham gorengan malah semakin menambah beban perusahaan. Akhirnya di 2017 meledak, perusahaan tak mampu membayar polis. Itulah mengapa Yustinus menyebutnya mirip skema ponzi.
"Maka setelah 2017 tadi ya skema ponzi terjadi. Nasabah investasi di awal returnya dibayar dari uang premi yang didapat. Jadi yang di depan untungnya gede yang belakangan rugi," terangnya.
Memang ada yang aneh dalam laporan keuangan Jiwasraya di 2017. Laporan keuangan saat itu berstatus mendapat opini adverse atau dengan modifikasi dari Kantor Akuntan Publik PricewaterhouseCoopers (PwC).
Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menjelaskan, dalam laporan keuangan Jiwasraya di 2017 tercatat perusahaan mencatatkan laba Rp 360 miliar. Namun ada yang aneh dengan opini yang dikeluarkan oleh akuntan publik bahwa laporan itu mendapatkan opini modifikasian.
"Namun tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang menyebabkan bahwa laporan keuangannya dengan modifikasian," ujarnya.
Menurut Tarko cap tersebut harusnya diperhatikan. Status modifikasian artinya ada hal yang janggal dalam laporan keuangan tersebut.
"Opini auditor akuntan publik adalah opini tidak wajar karena kekurangan cadangan teknis Rp 7 triliun. Jadi laba Rp 360 miliar yang disampaikan direksi adalah tidak tepat," tambahnya.
Bagi perusahaan asuransi setiap masuknya pendapatan premi maka perusahaan harus menyediakan cadangan teknis. Jika tidak ada cadangan teknis maka perusahaan rugi karena tak mampu membayar. Maka dengan kata lain seharusnya Jiwasraya pada 2017 rugi Rp 7 triliun.