Sektor perbankan di Indonesia disebut tetap kuat dari sisi permodalan, risiko kredit, dan likuiditas. Hal ini meskipun adanya masalah pada empat bank di beberapa negara seperti Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, Silvergate Bank dan Credit Suisse.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan jika bangkrutnya bank-bank ini tak akan berdampak langsung di pasar keuangan Indonesia. Bank sentral telah melakukan serangkaian stress test untuk menguji seberapa kuat ketahanan perbankan Indonesia.
Dia menjelaskan saat ini rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan di Indonesia 25,88% per Januari 2023. Kemudian, non performing loan (NPL) 2,59% secara gross dan 0,76% secara neto.
"Ini menopang ketahanan perbankan di Indonesia, sehingga diperkirakan kinerjanya tidak terdampak langsung dengan dinamika penutupan 3 bank," kata dia dalam konferensi pers, Kamis (16/3/2023).
Dia mengatakan tiga bank di AS ini memiliki model bisnis yang sangat rentan, misalnya deposit funding atau pendanaan terkonsentrasi pada deposan atau pemilik dana yang besar dan bukan dana murah.
Lalu deposan ini juga masih berada dalam klaster yang terkait dengan startup dan teknologi finansial. Kemudian dari sisi dana yang dikumpulkan ditempatkan di surat berharga pemerintah.
"Memang risikonya terlihat rendah, tapi yang jadi isu adalah risiko pada valuasinya," jelas dia.
Ketika suku bunga acuan bank sentral AS naik maka terjadi loss dalam securities valuation. Kondisi ini menyebabkan surat berharga menjadi turun dan valuasinya negatif dan membuat permodalan bank terganggu.
Tak sampai di situ, Perry mencontohkan untuk SVB ini sempat berencana menambah modal dengan melakukan initial public offering (IPO). Lalu saat IPO dilakukan dan modal mulai ditambahkan, terjadi kegagalan. Kondisi ini menciptakan rumor di para pemilik dana.
"Deposan ini terkonsentrasi dengan cepat ingin tarik dananya. Kemudian terjadi bank run. Itu terjadi seminggu lalu dengan cepat," jelas dia.
Kondisi di Indonesia jauh berbeda. Cek halaman berikutnya.