Kalangan yang paling lantang menolak RUU Cipta Kerja adalah buruh dan pekerja. Mereka mempersoalkan sejumlah pasal yang dianggap tak berpihak kepada mereka.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan penyusunan draf RUU sejak awal telah melibatkan para pihak terkait seperti kalangan serikat buruh, pengusaha, dan akademisi pada November-Desember lalu.
Meski begitu, Ida mengaku siap untuk mendiskusikannya kembali jika ada pihak yang merasa keberatan. Hal-hal yang dianggap menjadi persoalan akan diinventarisasi seperti upah minimum, besaran pesangon, waktu kerja, dan seterusnya.
"Saya tidak tahu apakah ini tidak dianggap sebagai keterbukaan? Kami ada notulensinya kok. Kalau sekarang teman-teman itu pada ribut, ya ini dinamika demokrasi saja," kata Ida yang juga politisi PKB itu kepada tim Blak-blakan detikcom, Jumat (21/02/2020).
Menaker Bantah Omnibus Law Beri 'Karpet Merah' ke Pekerja Asing
Ida menegaskan, ketentuan soal akses TKA ke Indonesia diatur terpisah dalam Peraturan Presiden (Perpres) dan Permenaker.
"Ketentuan tentang jabatan dan pekerjaan TKA itu sudah diatur dalam Perpres dan Permenaker. Jadi hanya jabatan dan pekerjaan tertentu saja yang diberikan kepada TKA. Jadi tidak benar itu," ungkap Ida.
Ia mengungkapkan, sejauh ini pemerintah tak mengubah ketentuan TKA masuk ke RI. Adapun aturan tentang TKA yang masih berlaku saat ini yakni Perpres nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, dan Keputusan Menteri (Kepmen) Ketenagakerjaan nomor 228 tahun 2019 tentang jabatan tertentu yang dapat diduduki TKA.
Menurut Ida, ketentuan TKA ini tak diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja, Sehingga, ia dengan tegas menyatakan dugaan adanya 'karpet merah' bagi TKA itu salah.
"Jadi tidak di atur di sini, jadi clear ya. Tetap mengikuti aturan yang lama, ada jenis pekerjaan tertentu saja yang diberikan kepada TKA," kata Ida.
Apalagi, terkait jabatan personalia atau human resources development (HRD). Jabatan tersebut tak akan dibuka bagi TKA.
"Saya mau menjelaskan juga untuk jabatan personalia atau HRD itu tidak diberikan kesempatan kepada TKA. Jadi tetap harus menggunakan pekerja Indonesia," ucapnya.
Alasan Jam Kerja Dirubah dalam RUU Cipta Kerja
Ida mengatakan, aturan yang diubah dengan sederhana ini justru memberikan fleksibilitas terutama bagi kaum ibu rumah tangga (IRT) maupun kalangan milenial yang ingin bekerja.
Baik dalam Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maupun RUU Cipta Kerja, lamanya jam kerja tidak berubah yakni 8 jam dalam satu hari, atau 40 jam dalam satu minggu. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, pemerintah menambahkan kata 'paling lama'.
"Kenapa menggunakan terminologi paling lama? Ini untuk mengakomodasi jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan waktu 8 jam per hari itu. Kan banyak sekarang jenis-jenis pekerjaan baru yang tidak sampai 8 jam," kata Ida.
Menurutnya, dengan memaksimalkan jam kerja 8 jam dalam sehari, masyarakat yang ingin bekerja dengan lama waktu kurang dari 8 jam bisa memperoleh pekerjaan. Ida mengatakan, skema tersebut banyak dicari oleh kalangan IRT dan millennial.
"Banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang ingin bekerja tetapi hanya memiliki waktu 3 jam. Banyak sekali anak-anak millenial kita ini yang tidak mau bekerja dalam satu tempat dan durasinya 8 jam. Ini banyak," ungkap Ida.
Nantinya, dengan aturan tersebut pemerintah dapat memberikan ketetapan teknis terkait skema pengupahan dan perlindungan bagi masyarakat yang bekerja di bawah 8 jam.
"Ini kita akomodasi dengan menghitung bagaimana upahnya itu ada perlindungan di dalamnya," ujar dia.
Ida berharap, dengan aturan ini, populasi generasi milenial yang akan mendominasi Indonesia ini dapat diakomodasi dengan pekerjaan yang layak.
Menaker Akui Pesangon di RUU Cipta Kerja Lebih Kecil
Dalam Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pesangon diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerja yang terkena PHK dengan besaran maksimal hingga 32 kali upah bulanan.
Namun, dalam RUU Cipta Kerja, pemberian pesangon maksimal sebesar sembilan kali upah bagi buruh yang masa kerjanya 8 tahun atau lebih.
Meski begitu, menurut Ida, pemerintah mengatur manfaat lain yang dapat berguna bagi korban PHK di luar pesangon tersebut.
"Ya, pesangon memang jumlahnya tidak sebesar UU 13 tahun 2003. Tetapi yang harus dilihat secara utuh bahwa ada perlindungan baru yang diberikan di UU 13 ini. Kita ingin memberikan kepastian perlindungan," ungkap Ida.
Ia menuturkan, pemberian pesangon dalam bentuk uang segar atau langsung diterima korban PHK yang tertuang dalam UU nomor 13 tahun 2003 kerap kali tak sesuai dengan kenyataan di lapangan, sehingga meski besaran pesangon dalam RUU Cipta Kerja lebih kecil, menurut Ida lebih memberikan kepastian. Selain itu, korban PHK juga dapat menikmati manfaat lainnya.
"Kalau selama ini angka pesangon itu tinggi, tapi kan ternyata implementasinya kan tidak setinggi yang di atas kertas. Nah untuk mengurangi kesenjangan itu, kami ingin memberikan kepastian perlindungan dengan manfaat baru, Jaminan Kehilangan Pekerjaan," papar Ida.
Kemudian, pemerintah juga memberikan pelatihan vokasi untuk meningkatkan keterampilan atau skill bagi korban PHK. Begitu juga dengan akses penempatan kerja di tempat lain.
"Teman-teman yang terkena PHK, pekerja yang ter-PHK, mendapatkan cash benefit, mendapatkan pelatihan vokasi, dan mendapatkan akses penempatan. Ini yang tidak diatur. Saya kira dengan ada ini, kan yang paling penting kenapa dia ter-PHK? Kalau karena persoalan kompetensi, kan vokasi menjadi solusinya. Kemudian yang paling penting justru misalnya akses penempatan itu," jelas Ida.
Ida menegaskan, aturan baru soal pesangon ini akan memberikan manfaat lebih bagi korban PHK.
Pekerja Kontrak Dapat 'Buah Manis' di RUU Cipta Kerja
Ida mengatakan dalam RUU Cipta Kerja ada aturan baru yang ditujukan pemerintah khusus untuk masyarakat yang memperoleh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Aturan tersebut mewajibkan pemberi kerja memberikan kompensasi satu bulan gaji pada pekerja kontrak yang telah bekerja selama satu tahun.
"Dengan ada kompensasi yang harus diberikan, yaitu satu tahun bekerja dia berhak mendapatkan kompensasi satu bulan gaji atau upah. Kalau misalnya kontraknya dua tahun dan bisa diperpanjang satu tahun, maka dia berhak mendapatkan tiga bulan gaji atau upahnya," jelas Ida.
Menurut Ida, ketentuan ini belum pernah dibuat, dan ia menegaskan pemberi kerja harus mematuhinya.
"Yang kita atur adalah bagaimana perlindungan kepada pekerja, pekerja waktu tertentu atau pekerja kontrak. Itu yang kita atur. Nah ini peraturan berapa lama tidak diatur di sini. Karena sudah ada peraturan yang mengaturnya. Yang kita atur di sini adalah perlindungan buat pekerja waktu tertentu tadi," kata Ida.
Selain itu, pekerja kontrak akan memperoleh jaminan kecelakaan atau pun kematian yang belum pernah ditetapkan sebelumnya. Sehingga, pekerja kontrak memperoleh sebagian hak yang sama dengan pekerja tetap.
"Dia juga berhak untuk mendapatkan perlindungan seperti pekerja tetap. Dia berhak mendapatkan jaminan kecelakaan, jaminan kematian, itu yang kita atur di sini. Dan jaminan-jaminan seperti yang diatur untuk pekerja tetap," imbuh dia.
Menurut Ida, sebelum ada ketentuan ini pemberi kerja mengambil jalan pintas dengan mempekerjakan pekerja kontrak tanpa memberikan kompensasi.
"Kalau dulu kan kontrak-kontrak tanpa ada kompensasi, sekarang bisa dihitung. Jadi kalau perusahaan mau menggunakan atau memperkerjakan dalam waktu tertentu maka dia harus menghitung. Kalau untuk satu tahun maka dia harus membayar 13 bulan. Ini yang dulu tidak diatur," ungkapnya.