-
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) menjadi perhatian. Perusahaan asuransi pelat merah tersebut terbelit persoalan keuangan yang belum juga usai.
Jumlah aset Jiwasraya pada kuartal III/2019 hanya Rp 25,6 triliun, sementara utangnya Rp 49,6 triliun. Artinya, total ekuitas atau selisih aset dan kewajiban Jiwasraya minus Rp 23,92 triliun.
Bisnis perusahaan ini tak bisa lagi menopang kerugian yang menyentuh angka Rp 13,74 triliun per September 2019. Sebab, premi yang dikumpulkan Jiwasaraya tergerus habis-habisan untuk pembayaran bunga jatuh tempo serta pokok polis nasabah.
Sementara Jiwasraya harus segera membayar klaim dua jenis asuransi yang sudah jatuh tempo dengan total kewajiban yang harus dipenuhi perusahaan hingga mencapai Rp 16,3 triliun.
Menjawab permasalahan tersebut, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko pun buka-bukaan dengan detikcom. Hexana membeberkan awal mula serta penyebab BUMN asuransi ini bisa terbelit masalah keuangan hingga saat ini.
Selain itu, Hexana yang baru menjabat masuk ke perusahaan pada pertengahan 2018 ini juga memaparkan seperti apa cara yang akan dilakukannya untuk membuat kondisi Jiwasraya kembali pulih, hingga cara menuntaskan kewajibannya ke nasabah. Berikut wawancara selengkapnya:
Jadi perusahaan kita ini, kami tuh masuk banyak yang tidak tahu ya (keadaannya). Kami masuk itu kan sudah dalam keadaan bermasalah. Terus kami ini tingkatnya sebenarnya sudah penyelamatan perusahaan.
Oleh karena itu kami berpikir namanya penyelamatan itu lebih ke bagaimana memikirkan, orang yang tahu itu mesti retstrukturisasi perusahaan, dalam keadaan perusahaan yang sedang sakit ya. Bukan hanya normatif, kalau cuma menjalankan pekerjaan saja, ya akan banyak yang tertarik, paling tidak, banyak orang yang bisa.
Jadi secara fundamental perusahaan ini sebenarnya sakitnya sudah serius, dan sakit serius sebuah perusahaan itu bukan membalik tangan mendadak. Sebenarnya pemegang saham dikira tidak tahu sama sekali itu, enggak. Dengan kecurigaan-kecurigaan sebelumnya makanya diambil sikap. Jadi selama ini orang mendiskreditkan pemegang saham tiba-tiba begitu justru dari kecurigaan. Karena tidak GCG (Good Corporate Governance) di perusahaan, sehinggga laporan pun itu tidak benar. Agak dimanipulasi laporannya.
Sehingga kan yang namanya pemegang saham itu berdasarkan laporan. Tapi ketika dicurigai, maka kemudian diganti manajemen. Waktu itu sementara Plt 6 bulan kan, terus baru Pak Asmawi masuk.
-nya, neracanya, perhitungan cadangannya, itu kurang. Padahal dalam asuransi itu, cadangan itu merefleksikan pengakuan besarnya liabilities. Terus kemudian di sisi aset kok saya melihat aset-aset tidak bagus. Ketika pasar turun, kok dia jalan sendiri di atas. Mulai tak lihat, wah ini aset-aset yang bukan, sulit mencari tahu kenapa mempunyai aset itu. Mempunyai investasi itu.
Kalau di understanding saya, ketika orang mau melakukan investasi di finansial instrumen, nomor 1 yang dilakukan itu adalah kredibilitas analisis. Kredit risk analisis itu nomor satu bagi setiap orang yang mau analisis. Kenapa berani berinvestasi di instrumen itu, iya kan. Fundamentalnya tentu harus dilakukan, perusahaannya sehat atau tidak, terus wajar atau tidak, harganya sahamnya dicek wajar atau tidak, dia bergerak di bidang apa. Kemudian
industrinya, dia lagi sunset atau tidak.
Kedua setelah itu magnitudenya, dia beli itu berani berapa. Perusahaan yang bagus tentu berani beli dengan jumlah yang besar. Tapi itu juga mengukur kemampuan ke dalam, kan ada modal. Maka ada namanya concentration risk segala macam. Di sini intinya tidak menerapkan portofolio investmen yang bagus.
Terus di sini ada satu greediness atau panik. Menurut saya, kerakusan atau panik. Dua hal yang hampir nggak bisa dibedakan. Kerakusan itu karena nafsu ingin mencari yang tinggi, tapi panik itu dipaksa mencari yang tinggi karena punya liabilities yang mahal. Jadi saya lebih kepada yang panik. Jadi memburu apapun instrumen, nggak peduli apapun ratingnya, dicari yang potensi, hanya potensi loh, upsidenya tinggi.
Tapi saya tanya, bagaimana melindungi dari downside? nggak ada. Jadi investasinya telanjang, naked. Sehingga ketika pasar jatuh ya ikut jatuh.
Di mana investasi yang bermasalah?Saham. Saham-saham yang tidak perform, perusahaan-perusahaan rugi, perusahaan-perusahaan yang capitalisasinya kecil, tidak terkenal.
Hanson internasional juga?Ya dulu, sejarahnya ada juga. Dulu bahkan kita membeli, bahkan diklarifikasi kan oleh Beny Tjokro. Jadi dulu kita beli, beli lalu dipertanyakan oleh BPK, kaya gini kok dibeli. Terus dicairkan, dibayarlah itu. Bener dicairkan, dikembalikan, tapi saya lagi teliti ini.
Kapan awal mula kelihatan Jiwasraya mulai sakit? Apa pada 2017 saat laba mulai anjlok dari Rp 2,14 T jadi Rp 320 M?Saya kan masuk pertengahan tahun 2018, itu belum tutup laporannya. Masih seru antara manajemen lama dengan auditor. Kemudian yang lama diganti jadi Plt, terus nggak tahu gimana pokoknya nggak putus-putus juga. Sampai kami datang sudah di penghujung, sudah lewat itu. Sehingga kita lihat, langsung ketahuan.
Kita lihat pertama di pembentukan cadangan, maka laporan keuangannya adverse. Dan 2017 itu laporan auditnya adverse, jadi yang Rp 2 triliun itu clean in house. In house. Bahkan waktu diumumkan itu in housenya itu juga belum close. Wong itu diumumkan itu direksi yang lama, sebelum 15 Januari. Kan mereka berakhir 15 Januari 2018.
Sehingga setelah didalami, ditemukan oleh auditor. Jadi 2016 auditornya PwC partnernya lain tapi, terus tahun 2017 PwC lagi tapi partnernya beda. Nah yang ini menemukan keganjilan di tahun 2017, di perhitungan cadangan, dari tahun-tahun sebelumnya. Even dari tahun 2016 juga ditemukan keganjilan, perhitungan cadangan yang kurang. Selain kurang, asumsi-asumsinya nggak wajar. Sehingga terjadi kekurangan cadangan yang besar.
Terus sisi investasinya belum dilihat, karena tidak diperoleh indormasi, tertutup sekali. Sehingga opininya adverse. Adverse sana-sini nggak bisa jalan, oke lah dibuku dikeuntungan Rp 320 miliar, jadi Rp 360 miliar. Terus konsolidasi jadi Rp 420 m. Tapi dengan catatan, ada kekurangan cadangan yang signifikan. Di saving plan, satu produk saja kurang Rp 7,7 triliun.
Sampai bisa kekurangan cadangan itu berarti karena manajemen lama? Dan kemarin Kementerian BUMN mengindikasikan ada fraud dan katanya mau melaporkan ke kejaksaan?Jadi tolong jangan bicara masalah hukum ya, saya bicara fakta. Biar hukum ada yang urus sendiri. Tapi kalau sebuah pengurus perusahaan melaporkan tidak benar itu kan, ya silakan berpikir sendiri.
Intinya begini, punya liabilities saving plan Rp 22 triliun, di buku Rp 13 triliun, kurang kan? masa punya utang, saving plan kan utang, liabilities kan utang. Nah, karena tidak melakukan jadi untung, iya kan? (Jadi hanya) Simpan saja (biar) jadi untung.
Jadi punya utang Rp 22 triliun, diakui Rp 13 triliun. Sebenarnya, oke di kantongnya ada untung Rp 2,4 triliun, tapi dia belum hitung utangnya. Kira-kira begitu. Jadi kekurangannya itu sekitar Rp 10,9 triliun sebenarnya. Itu nggak kelihatan sepanjang ada tekanan likuiditas.
Nah proses tekanan likuiditas itu ketika ini pada jatuh tempo. Ini jatuh tempo kan harus bayar, jadi baru kelihatan. Karena sifatnya saving plan itu setiap tahun ada yang jatuh tempo, setiap hari ada yang jatuh tempo, karena setahun-setahun. Nah kalau jatuh tempo, yang dicairkan yang mana? investasinya dicairkan. Saham nggak bisa dijual, karena harganya harga gorengan, nggak laku.
Saham apa saja?Sudah jelas, saham IIKP, saham SMRU yang sekarang Rp 350, FIRE, saham-saham NTFN. Pasar sudah pegang datanya.
Tapi kalau untuk menyehatkan Jiwasraya sendiri itu sebenarnya butuh tambahan modal berapa?
Begini, untuk mengenolkan itu butuh angka Rp 26 triliun, perlu diimpairment. Impairment tuh begini ada saham, fundamentalnya sudah hancur, perusahaannya itu sudah delisting, tapi masih nongkrong di bursa harganya itu kalau dijual nggak ada yang beli, sudah hilang. Investasi saham itu kalau lagi naik bagus, kalau hilang perusahaannya tutup, hilang. Harga-harga yang sekarang Rp 50. Ini kadang-kadang transaksi antar MI (Manajer Investasi) juga.
Jadi artinya GCG-nya ya, GCG, pencatatan perusahaan ini tidak jujur, masih melaporkan tidak sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya.
Kalau seperti ini kan ujung-ujungnya nasabah yang kena, apalagi kemarin juga rencananya April mulai dicairkan. Itu bagaimana?Sebenarnya begini, kan saya sampaikan bahwa uang-uang yang dikumpulkan dari produk ini, kan produk namanya saving plan, menghasilkan uang, uangnya kan diinvestasi, ketika gagal ini kan nggak bisa bayar. Maka saya cari minta setoran untuk menggantikan yang tadi agar bisa bayar. Jadi uangnya hilang, investasinya nggak balik, itu uangnya hilang.
Buka halaman berikutnya>>>Berapa tunggakannya?
Jadi total liabilities saving plan itu, termasuk bunganya sekitar Rp 16,13 triliun. Yang akan jatuh tempo sampai akhir tahun ini Rp 12,4 triliun. Akhir 2019.
Sudah bicara sama nasabah?
sudah.
Bagaimana tanggapan nasabah?
Jadi begini ya mas, saya ini janjian juga sama Korea minggu ini.
Iya kemarin katanya mau dibawa ke Parlemen Korsel?
Enggak, jangan termakan juga. Saya menghandle orang Korea, tapi sekarang ministrynya dikirim ke sini. Ini produk investasi, kita empati sama customer, tapi para investor itu juga secara sadar ketika membeli produk ini karena tergoda oleh return yang tinggi. Mau dijanjikan return yang tinggi.
Dijanjikan berapa?
Itu di atas bunga deposito prioritas, jauh sekali. Nettnya itu nggak turun-turun, terakhir itu nettnya 7% tapi ditambah, jadi sekitar 9%. Itu pada saat deposito berapa, pada saat 5,75-6%, gross loh deposito itu, itu janjiin bunga yang tinggi. Jadi nettnya itu kita sempat begini, nett dibayar bunga, ada casback 0,5%, ada macam-macam. Jadi terakhir itu sebelum saya masuk sekitar lebih dari 9% pada saat deposito nett 5,75% gross. Padahal uangnya dari sini itu dilarikan ke deposito, dilarikan ke obligasi, kan tekor, bagaimana caranya.
Terus bicara dengan pihak Korea bagaimana?
Jadi begini, customer-customer itu adalah nasabah-nasabah prioritas bank. Jadi kita berbicara dengan perbankan, menyamakan persepsi, bicara menghandlenya bagaimana? ada yang namanya co-handling, karena bank-bank itu juga nggak mau kehilangan nasabahnya. Karena nasabah itu nasabah-nasabah utama mereka. Investasi di Jiwasraya itu porsi kecil dari AUM-nya dia. AUM itu asset under management (dana kelolaan). Misalnya contoh nasabah A, punya uang di bank A sekitar Rp 50 miliar, beli di sini (Jiwasraya) Rp 1 miliar.
Jadi kira-kira bank kan juga mau customernya, jadi sebenarnya kita dengan bank itu juga sudah co-handling. Ini kan investor individual, beda dengan obligasi ya, kalau obligasi itu kan diarrange massal oleh underwriter. Ini individual satu-satu, keputusannya itu independen, masing-masing. Jadi kalau bersama-sama itu hanya senasib sepenanggungan, kan begitu lah.
Tapi boleh dong, kalau saya menghandle nasabah, massa itu negatif, ngurus 500 nggak bisa ngomong 2.000. Messagenya kami tekankan, kami handling one on one, small grup. Kami mendeliver messagenya, kami mengakui yang tidak dibayar karena investasinya tidak terpakai. Maka saya bekerja untuk mereka, saya ini bekerja untuk mereka. Untuk mencari funding, untuk menyelesaikan.
Saya bukan kasir. Jadi jangan dikira satu tahun jalan. Kami (berusaha) menyelesaikan masalah secepatnya. Kami ingin membayar, bukan tidak ingin membayar. Cuma masalahnya yang dipakai bayar apa. Orang investasinya nggak balik. Dan kami ini mencari funding melalui investasi investor, segala macam. Begitu loh.
Apa Jiwasraya menjanjikan kapan bisa bayar?
Itu yang selalu ditunggu. Kalau saya kasir, saya bisa tinggal tulis. Karena saya lagi mencari, saya katakan, makanya bahasa saya, saya terangkan bagaimana sebuah proses corporate. Bahkan itu sharing proses mestinya, bukan untuk konsumsi lalu bubar. Corporate action itu once diramaikan, tidak akan terjadi.
Jadi saya mohon, orang-orang yang meramaikan itu artinya tidak ingin perusahaan ini selamat. Orang-orang yang ingin meramaikan, itu menginginkan perusahaan ini tidak selamat. Tapi yang diserang investornya. Investor itu mengambil risiko. Dan yang ditakuti investor adalah masalah-masalah legal. Jadi ibaratnya, ngapain aku yang punya duit berurusan dengan masalah, cari yang lain saja kan gampang.
Itu lah makanya, ramaikan secara proposional saja. Tanyakan. Kita masih mencari investor. Kalau dulu saya kan datang dari perusahaan bagus, investor itu disaring. Kalau ini (Jiwasraya) narik. Dulu nyaring, disaring investornya. Kalau sekarang bukan disaring, narik saja juga keleyengan.
Lalu bagaimana caranya untuk selamatkan Jiwasraya? Bikin anak usaha?
Ini yang mau saya terangkan. Mencarinya bagaimana, bukan polosan. Kalau yang bagus, dijual perusahaan kan ada. Ini perusahaan bermasalah. Maka kita create namanya perusahaan anak yang akan mendeliver new business value. Jiwasraya Putera.
Bentuk anak usaha nggak malah menjadi beban?
Tidak. Ini yang mau saya luruskan. Jiwasraya Putera itu, karena Jiwasraya itu, kalau dijual begitu saja banyak masalahnya, nggak menarik. Terus dengan Jiwasraya Putera, ini akan mendeliver new business value. Dari mana new business value ini datangnya? dari captive marketnya Jiwasraya. Nah Jiwasraya selama ini fokus pada bancassurance. Kita mau jual produk-produk yang sifatnya life insurance. Kepada siapa? kepada captive marketnya Jiwasraya. Siapa? Jiwasraya itu punya peserta 7,1 juta orang. Punya 102 nasabah BUMN. BUMN kan punya pegawai, punya rekanan, punya 311 anak BUMN.
Jadi kita jual produk-produk itu melalui channel-channel mereka. Tapi ini business value sama sekali. Terus kita menggandeng BTN, Kereta Api, Pegadaian, dan Telkomsel. Apa sih yang digandeng? adalah sebenarnya captive market mereka. Mereka ini tidak setor, selama ini orang salah. Dikira itu BTN setor, KAI setor, suruh lunasi. Mereka itu nggak keluar uang sama sekali.
Jadi begini, di dunia bisnis itu potensi bisnis ada harganya. Investor asing masuk ke Indonesia itu, ini ada harganya. Untuk akses ke Indonesia, untuk ke penduduk Indonesia, kan ada harganya. Jadi kalau kami jual itu, kami ini beroperasi di satu negara yang penduduknya sekian juta. Itu potensi market.
Contoh, saya waktu di perusahaan lama mau masuk ke Kamboja, mau masuk ke Laos, modal bisnisnya oke, tapi begitu dihitung jumlah penduduknya cuma sekian, nggak dapat namanya economist of skill. Nah asuransi jiwa itu butuh economist of skill, karena asuransi jiwa itu bicara proteksi, proteksi itu probability. Semakin besar populasinya, semakin kecil propability, semakin kecil resikonya.
Saya kembali lagi, jadi BTN itu punya customer, punya kantor, tapi BTN kan nggak boleh jualan asuransi. Jadi kalau nggak menggandeng perusahaan asuransi, itu tadi nggak ada nilainya. Nah yang digandeng mana? melalui Jiwaraya Putera dengan lisensi asuransi jiwa. Maka nanti Jiwasraya Putera mempunyai produk, dijual di jaringannya BTN.
Divaluasi, terus mereka juga valuasi. Nah nilainya itu nanti akan dihargai seolah setoran dia sudah lama. Jadi dia tidak setor, dia jadi punya saham. Demikian juga dengan kereta api dengan sekian ratus juta penumpang, untuk apa kalau tidak dimonetize, nggak dimanfaatkan. Nah ini dimanfaatkan melalui industri asuransi jiwa.
Sehingga sebenarnya pembentukan Jiwasraya Putera itu juga untung kepada BTN, mereka itu juga perlu mencari sumber income baru. Dari mana? dia dapat fee based income. Dari jualan itu dapat fee dia, gede. Terus dapat dividen, karena dia dapat saham. Begitu juga dengan kereta api, kereta api itu sekarang incomenya baru dari tiket. Akhirnya dia dapat fee based income, saham, dividen. Pegadaian dan Telkomsel juga begitu. Jadi ini win-win solution ketika mereka juga sedang menggali informasi-informasi, mencari opportunity.
Sekarang Jiwasraya, kalau pakai Jiwasraya cari partner susah, tapi kami punya captive market. Dan captive itu sudah kontraktual ada di sini, tinggal nambahin jadi rider. Dan itu benefit proteksi life itu, jadi kita hanya jual life group sama personal accident. Itu dico-insurance kan kepada Putera, 60% kita tahan, 40% di sana. Yang jualan siapa? dari Jiwasraya. Kita punya agen, punya network. Dari situ Jiwasraya menguasai mayoritas dari saham, saham ini lah yang dijual ke investor. Dari hasil penjualan ini maka Jiwasraya mendapat uang. Ini lah yang dipakai untuk membayar.
Nah, kapan itu? sekarang sedang due diligence. Yang namanya perusahaan itu kan tahu sendiri, nggak seperti membeli surat berharga, butuh due diligence macam-macam. Kita harus hormati prosedur supaya GCG. Apalagi kalau investornya terbuka, BTN terbuka kan. Itu prosedur pasar modal harus kita ikuti semua kan.
Jadi mengenai waktu saya nggak bisa jawab, perkiraan segini. Kami kan punya project management, ada timelinenya. Misalnya nanti kita baru proses due diligent sampai 15 Desember. Baru setelah itu, ada yang lain, negosiasi, kompleks banget. Tapi itulah solusi-solusi besar. Bukan jangka pendek yang langsung. Untuk itu ada bridging-bridging yang saya lakukan. Seperti memanfaatkan aset aset yang saya punya.
Contohnya seperti apa?
Contohnya begitu, saya punya gedung, Jiwasraya itu banyak gedung di seluruh Indonesia, tanah kosong, itu nggak produktif. Padahal itu barang dagangan loh, activa tetap. Jadi itu dikerjasamakan, saya dapat uang muka.
Jadi dikerjasamakan dengan Karya-Karya itu, jadi bukan kita pinjam dari Karya, salah itu. Orang dikira pinjam, nggak. Karya itu punya tanah nggak dia? nggak punya, dia itu nyari. Kita punya tanah, dia mau bangun hotel, sekarang mau bangun macam-macam.
Jadi seperti sewa aset?
Istilahnya kerja sama, jadi saya akan berubah dari mempunyai aset properti persediaan, bukan properti activa tetap loh ya, itu barang dagangan. Dari dianggurin dari tiap tahun cuma bayar pajak, PBB, nggak menghasilkan, menghasilkannya nanti ketika divaluasi, sekarang kerja sama. Jadi itu sebagai setoran kami. Penyertaan kami di konsorsium.
Berapa nilainya?
Itu untuk uang muka saja kita dapat Rp 1,4 triliun. Itu dari 22 aset seluruh Indonesia.
Kenapa tidak dilakukan dari dulu?
Ya nggak tahu, saya kan baru. Makanya saya lihat, itu kan harta karun. Itu bukan activa tetap, itu persediaan. Persediaan itu nggak boleh dielus-elus harus diconvert jadi financial aset yang lebih likuid, asal ratingnya bagus.
Aset itu tetap milik Jiwasraya?
Sekarang masih milik Jiwasraya, nanti terserah, bisa saja dipindahkan, nggak harus. Itu bedanya dengan activa tetap. Itu barang dagangan, itu statusnya sama dengan bond, sama dengan saham. Investasi.
Itu sudah mulai?
Sudah, sudah mulai. Banyak yang kita lakukan, tapi nggak perlu diumumkan. Dan itu bukan immediate ya, itu kan proses. Panjang, kan tahunan. Terus saya punya gedung, bertahun-tahun kosong, gedung mewah, punya jatah 2 lantai nggak diapa-apain, ya saya sewakan.
Berapa dana yang sudah dikumpulkan selama ini?
Saya untuk bridging, saya dapat Rp 3 triliun, repo, pinjaman jaminan, Rp 3,5 triliun ditambah beberapa likuidasi. Rp 3,5 triliun yang creative, rekord itu. Ditambah jualan, hampir Rp 5 triliun. Itu yang sudah diapatkan, creative saja. Itu kan bisa buat bayar-bayar cicil sebagian, memang nggak semua. Terus saya minta ke OJK untuk bisa mencicil, tadinya itu premi harus utuh.
Sekarang ya makin lama makin habis energi saya, ada batasnya. Bridging itu ada batasnya. Saya setahun ini sudah, bayangkan tanggal 15 Oktober sudah menyatakan tidak mampu, saya masih bisa bertahan setahun lebih ini. Itu saya morat-marit harta karun. Dikorek-korek.
Tapi meski begitu kan pembayaran ke nasabah masih belum selesai, ditambah kemarin banyak yang nuntut. Itu bagaimana?
Saya sampaikan, oke perusahaan sudah menyatakan going concern, pemegang saham menyatakan akan menyelesaikan. Anda sudah menikmati yield yang tinggi bertahun-tahun, dan sampai hari ini bunga masih dibayar. Nasabah cuma pokoknya yang belum dibayar. Tunggu. Jadi masih ada harapan. Jadi saya bilang ke customer, kalau Anda koperatif, saya bekerja untuk Anda, Anda harus bantu saya.
Saya tanya, Anda bisa minta kalau nggak happy dengan saya bisa minta saya mundur, saya akan mundur. Tapi pertanyaan saya, siapa yang akan mengurusi kalian? Kemarin saya dimarahi sama DPR, makan gaji buta. Saya bilang, di sini tolong ya, sampaikan ke DPR, saya mengapresiasi ke tim ini semua, ini adalah pejuang Jiwasraya, nggak tahu apa-apa dimaki-maki orang.
Memang di sini ada luxury facility?
Nggak ada, di sini nggak ada luxury. Nggak ada yang tinggal di rumah dinas, rumah mewah nggak ada. Tinggal di rumah pribadi semua. Dapat fasilitas loh padahal rumah dinas. Itu rumah dinasnya saya tawar-tawarin mau dijual. Rumah dinasnya itu mewah-mewah, terlalu mewah buat saya. Saya nggak ambil. Itu mau diproduktifkan, entah saya jual, kalau itu boleh dijual.
Jadi intinya saya fokus mencari funding untuk menggantikan aset yang hilang, aset yang tidak tercover. Saya juga kerja sama dengan mengambil risiko ada investor yang tidak mau masuk dalam bentuk equity, tapi dia mau menjalankan bisnis mengambil risiko dia sendiri. Jadi kita yang jalanin, cuma risikonya diambil dia 40%, kita 60%. Namanya financial reinsurrance, dengan perusahaan asuransi luar negeri. Itu tapi porsinya kecil, paling kita dapat Rp 1 triliun. VINRE
Memang kalau seperti ini pemegang saham memang berperan, inisiatifnya itu pemegang saham, ini sudah keluar dari korporasi. Nah sekarang korporasinya saya lakukan apa? di intern, sama transformasi. Produk-produk yang merugikan, saya benerin. Bisnis proses saya perbaiki sehingga lebih efisien.
Sekarang saya nggak perlu kantor wilayah, saya nggak perlu kantor cabang. Sekarang dengab teknologi semua, proses di seluruh Indonesia sudah ke sini (pusat). Dulu dicetak di kantor cabang, diproses di kantor cabang, dikonsolidasikan, bisa selisih itu. Sekarang di dalam tinggal isi form, online, sudah langsung ke sini. Dokumen dipotret, diimage. Itu proses yang sudah menghemat ratusan orang. Karena sudah nggak ada kerjaan. Problem baru.
Berapa orang itu? Ratusan?
Saya sangat mengerti, bayangkan. Tadinya kan di kantor wilayah ada, di kantor cabang ada. Di kota Surabaya itu ada satu kantor wilayah, ada utara, timur, selatan, barat. Ada 5 kantor lah. Sekarang tinggal customer service lah yang urus-urus, tapi cuma berapa orang. Kemarin bulan September ada 179 orang. Ditarik ke sini.
Ya kalau dari sisi kemanusiaan memang dilema. Tapi bagaimana? ini kan perusahaan. Misalnya di Manado. Manado tinggal 3 orang, tadinya 17 orang. Itu yang 3 orang ke sini. Yang tadinya bisa nggak kost, sekarang kost.
Total berapa karyawan yang kena?
Ada beberapa. Terus kemudian saya belum layoff. Jadi ada yang volunteer (mengundurkan diri). Itu rata-rata mereka hitung-hitungan. Biasanya bukan tulang punggung, bersaing lah mereka. Volunteer sendiri.
Karena begini saya ubah, saya butuh korporasi. Dulu korporasi itu ekstrem, kita punya ribuan nasaba, termasuk yang BUMN dan non BUMN, tapi nggak ada yang urus. Sekarang mau perkuat korporasi, kita butuh banyak orang korporasi, sekarang ada yang urusi. Jadi kita perbaiki sekarang, kita pakai B to B dengan perusahaan-perusahaan. Dulu pakai pihak ketiga, pakai agen atau pakai konsultan. Sekarang sudah nggak ada bayar-bayaran. Sekarang langsung.
Nah itu yang kita lakukan internal, jadi efisiensi, penataan bisnis proses, culture governance, manajemen resikonya. Saya bangun juga aset liability manajement. Minimal sebulan dekali dalam keadaan normal. Jadi sekarang semua orang paham tarhadap perusahaan. Ada komite investasi saya hidupkan. Transparan sekarang. Kemudian saya membangun kompetensi. Audit, bentuk audit kemana. Sekarang risk based audit, bukan compliance based. Nggak pantes senior manajer ke atas nggak tahu perusahaan, itu nggak pantas.
Kelanjutan 8 Investor asing yang mau masuk bagaimana? Siapa yang terpilih?
Itu satu yang akan ambil alih Jiwasraya. Angkanya nggak bisa disebutkan. Saya belum bisa sebut pokoknya. Nanti bisa tawar-menawar. Kita sudah buat valuasi.
Kembali lagi ke nasabah. Yang dikhawatirkan nasabah kan uangnya tidak kembali. Menurut Anda, bisa nggak uang nasabah kembali semua?
Saya tanya kepada nasabah. Ada yang menempuh jalur hukum. Saya tanya, jelaskan ke saya, dengan jalur yang Anda tempuh itu, uang Anda akan kembali? Jelaskan ke saya. Tujuan Anda apa? Kalau Anda ingin uang kembali, bukan itu caranya.
Kalau sampai perusahaan ini dipailitkan, dilikuidasi, silakan aset liabilitynya kasih ke kurator, silakan urus. Itu bisa 10 tahun. Dan itu juga musti dicicil, misalnya 1 rumah laku, dibagi rata semua. Bisa kebagian hanya Rp 100 ribu itu.
Jadi, cara ini, cara fundamental, bagaimana memperoleh, untuk mengembalikan kepada nasabah. Waktu, ya dia dischedule. Cepat atau lambat ya tergantung.
Jadi pasti kembali?
Pegang saja. Pemerintah nggak diam. Sekarang ada wakil menteri BUMN. Nggak main-main kita. Saya ini enteng saja. Enteng dalam arti begini, saya bekerja keras komitmen. Paling tidak, kita punya harapan. Itu penting punya harapan.
Jadi saya tidak marah meski mereka (nasabah) marah-marah. Saya tidak berhak marah, percuma. Makanya kita memberikan empati kepada mereka, rata-rata kalau kita berikan empati, mereka mau dengar.