Buka-bukaan Dirut Jiwasraya Hadapi 'Sakitnya' Perusahaan

Wawancara Khusus Dirut Jiwasraya

Buka-bukaan Dirut Jiwasraya Hadapi 'Sakitnya' Perusahaan

Fadhly Fauzi Rachman - detikFinance
Rabu, 20 Nov 2019 09:59 WIB
Buka-bukaan Dirut Jiwasraya Hadapi Sakitnya Perusahaan
Foto: Rengga Sancaya/detikcom

Lalu bagaimana caranya untuk selamatkan Jiwasraya? Bikin anak usaha?
Ini yang mau saya terangkan. Mencarinya bagaimana, bukan polosan. Kalau yang bagus, dijual perusahaan kan ada. Ini perusahaan bermasalah. Maka kita create namanya perusahaan anak yang akan mendeliver new business value. Jiwasraya Putera.

Bentuk anak usaha nggak malah menjadi beban?
Tidak. Ini yang mau saya luruskan. Jiwasraya Putera itu, karena Jiwasraya itu, kalau dijual begitu saja banyak masalahnya, nggak menarik. Terus dengan Jiwasraya Putera, ini akan mendeliver new business value. Dari mana new business value ini datangnya? dari captive marketnya Jiwasraya. Nah Jiwasraya selama ini fokus pada bancassurance. Kita mau jual produk-produk yang sifatnya life insurance. Kepada siapa? kepada captive marketnya Jiwasraya. Siapa? Jiwasraya itu punya peserta 7,1 juta orang. Punya 102 nasabah BUMN. BUMN kan punya pegawai, punya rekanan, punya 311 anak BUMN.

Jadi kita jual produk-produk itu melalui channel-channel mereka. Tapi ini business value sama sekali. Terus kita menggandeng BTN, Kereta Api, Pegadaian, dan Telkomsel. Apa sih yang digandeng? adalah sebenarnya captive market mereka. Mereka ini tidak setor, selama ini orang salah. Dikira itu BTN setor, KAI setor, suruh lunasi. Mereka itu nggak keluar uang sama sekali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jadi begini, di dunia bisnis itu potensi bisnis ada harganya. Investor asing masuk ke Indonesia itu, ini ada harganya. Untuk akses ke Indonesia, untuk ke penduduk Indonesia, kan ada harganya. Jadi kalau kami jual itu, kami ini beroperasi di satu negara yang penduduknya sekian juta. Itu potensi market.

Contoh, saya waktu di perusahaan lama mau masuk ke Kamboja, mau masuk ke Laos, modal bisnisnya oke, tapi begitu dihitung jumlah penduduknya cuma sekian, nggak dapat namanya economist of skill. Nah asuransi jiwa itu butuh economist of skill, karena asuransi jiwa itu bicara proteksi, proteksi itu probability. Semakin besar populasinya, semakin kecil propability, semakin kecil resikonya.

Saya kembali lagi, jadi BTN itu punya customer, punya kantor, tapi BTN kan nggak boleh jualan asuransi. Jadi kalau nggak menggandeng perusahaan asuransi, itu tadi nggak ada nilainya. Nah yang digandeng mana? melalui Jiwaraya Putera dengan lisensi asuransi jiwa. Maka nanti Jiwasraya Putera mempunyai produk, dijual di jaringannya BTN.

Divaluasi, terus mereka juga valuasi. Nah nilainya itu nanti akan dihargai seolah setoran dia sudah lama. Jadi dia tidak setor, dia jadi punya saham. Demikian juga dengan kereta api dengan sekian ratus juta penumpang, untuk apa kalau tidak dimonetize, nggak dimanfaatkan. Nah ini dimanfaatkan melalui industri asuransi jiwa.

Sehingga sebenarnya pembentukan Jiwasraya Putera itu juga untung kepada BTN, mereka itu juga perlu mencari sumber income baru. Dari mana? dia dapat fee based income. Dari jualan itu dapat fee dia, gede. Terus dapat dividen, karena dia dapat saham. Begitu juga dengan kereta api, kereta api itu sekarang incomenya baru dari tiket. Akhirnya dia dapat fee based income, saham, dividen. Pegadaian dan Telkomsel juga begitu. Jadi ini win-win solution ketika mereka juga sedang menggali informasi-informasi, mencari opportunity.

Sekarang Jiwasraya, kalau pakai Jiwasraya cari partner susah, tapi kami punya captive market. Dan captive itu sudah kontraktual ada di sini, tinggal nambahin jadi rider. Dan itu benefit proteksi life itu, jadi kita hanya jual life group sama personal accident. Itu dico-insurance kan kepada Putera, 60% kita tahan, 40% di sana. Yang jualan siapa? dari Jiwasraya. Kita punya agen, punya network. Dari situ Jiwasraya menguasai mayoritas dari saham, saham ini lah yang dijual ke investor. Dari hasil penjualan ini maka Jiwasraya mendapat uang. Ini lah yang dipakai untuk membayar.

Nah, kapan itu? sekarang sedang due diligence. Yang namanya perusahaan itu kan tahu sendiri, nggak seperti membeli surat berharga, butuh due diligence macam-macam. Kita harus hormati prosedur supaya GCG. Apalagi kalau investornya terbuka, BTN terbuka kan. Itu prosedur pasar modal harus kita ikuti semua kan.

Jadi mengenai waktu saya nggak bisa jawab, perkiraan segini. Kami kan punya project management, ada timelinenya. Misalnya nanti kita baru proses due diligent sampai 15 Desember. Baru setelah itu, ada yang lain, negosiasi, kompleks banget. Tapi itulah solusi-solusi besar. Bukan jangka pendek yang langsung. Untuk itu ada bridging-bridging yang saya lakukan. Seperti memanfaatkan aset aset yang saya punya.

Contohnya seperti apa?
Contohnya begitu, saya punya gedung, Jiwasraya itu banyak gedung di seluruh Indonesia, tanah kosong, itu nggak produktif. Padahal itu barang dagangan loh, activa tetap. Jadi itu dikerjasamakan, saya dapat uang muka.

Jadi dikerjasamakan dengan Karya-Karya itu, jadi bukan kita pinjam dari Karya, salah itu. Orang dikira pinjam, nggak. Karya itu punya tanah nggak dia? nggak punya, dia itu nyari. Kita punya tanah, dia mau bangun hotel, sekarang mau bangun macam-macam.

Jadi seperti sewa aset?
Istilahnya kerja sama, jadi saya akan berubah dari mempunyai aset properti persediaan, bukan properti activa tetap loh ya, itu barang dagangan. Dari dianggurin dari tiap tahun cuma bayar pajak, PBB, nggak menghasilkan, menghasilkannya nanti ketika divaluasi, sekarang kerja sama. Jadi itu sebagai setoran kami. Penyertaan kami di konsorsium.

Berapa nilainya?
Itu untuk uang muka saja kita dapat Rp 1,4 triliun. Itu dari 22 aset seluruh Indonesia.

Kenapa tidak dilakukan dari dulu?
Ya nggak tahu, saya kan baru. Makanya saya lihat, itu kan harta karun. Itu bukan activa tetap, itu persediaan. Persediaan itu nggak boleh dielus-elus harus diconvert jadi financial aset yang lebih likuid, asal ratingnya bagus.

Aset itu tetap milik Jiwasraya?
Sekarang masih milik Jiwasraya, nanti terserah, bisa saja dipindahkan, nggak harus. Itu bedanya dengan activa tetap. Itu barang dagangan, itu statusnya sama dengan bond, sama dengan saham. Investasi.

Itu sudah mulai?
Sudah, sudah mulai. Banyak yang kita lakukan, tapi nggak perlu diumumkan. Dan itu bukan immediate ya, itu kan proses. Panjang, kan tahunan. Terus saya punya gedung, bertahun-tahun kosong, gedung mewah, punya jatah 2 lantai nggak diapa-apain, ya saya sewakan.

Berapa dana yang sudah dikumpulkan selama ini?
Saya untuk bridging, saya dapat Rp 3 triliun, repo, pinjaman jaminan, Rp 3,5 triliun ditambah beberapa likuidasi. Rp 3,5 triliun yang creative, rekord itu. Ditambah jualan, hampir Rp 5 triliun. Itu yang sudah diapatkan, creative saja. Itu kan bisa buat bayar-bayar cicil sebagian, memang nggak semua. Terus saya minta ke OJK untuk bisa mencicil, tadinya itu premi harus utuh.

Sekarang ya makin lama makin habis energi saya, ada batasnya. Bridging itu ada batasnya. Saya setahun ini sudah, bayangkan tanggal 15 Oktober sudah menyatakan tidak mampu, saya masih bisa bertahan setahun lebih ini. Itu saya morat-marit harta karun. Dikorek-korek.


Hide Ads