Jakarta -
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bea Meterai akhirnya disetujui menjadi UU. Persetujuan diambil dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke-6 masa persidangan I tahun sidang 2020-2021.
Penerapan UU Bea Meterai ini dimulai awal tahun 2021. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menghitung penerimaan negara yang berasal dari beleid ini. Diperkirakan angkanya sekitar Rp 11 triliun sepanjang tahun depan.
Ketua Komisi XI DPR RI Dito Ganinduto mengatakan, dari rapat terakhir antara Kementerian Keuangan dengan Komisi XI terdapat delapan fraksi yang menyetujui beleid ini menjadi UU.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebanyak delapan fraksi itu adalah Fraksi PDIP, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi PKB, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, dan Fraksi PPP.
"Sedangkan satu fraksi yaitu Fraksi PKS menolak hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Bea Meterai," kata Dito saat membacakan laporan dalam Rapat Paripurna DPR, Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Meski terdapat satu fraksi yang menolak, RUU tentang Bea Meterai tetap disetujui oleh DPR usai Ketua DPR Puan Maharani meminta persetujuan.
"Kami menanyakan kepada seluruh anggota, apakah RUU tentang Bea Meterai dapat disetujui dan disahkan sebagai undang-undang?" tanya Puan.
"Setuju," jawab para anggota DPR.
Usai disetujui menjadi UU, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi keputusan parlemen terhadap aturan bea meterai.
"Pertama-tama, atas nama pemerintah, izinkan kami untuk mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ketua, Para Wakil Ketua, dan Bapak/Ibu Anggota Dewan DPR-RI yang telah mendukung proses pembentukan RUU Bea Meterai hingga sampai pada tahap pengambilan keputusan dalam sidang paripurna ini," kata Sri Mulyani.
Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang dasar hukum pemungutannya saat ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Undang-Undang Bea Meterai) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1986.
Menurut Sri Mulyani, aturan tersebut sudah diterapkan kurang lebih selama 35 tahun dan belum pernah mengalami perubahan.
Sementara itu, dikatakan Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, situasi dan kondisi yang ada dan terjadi di masyarakat dalam lebih dari tiga dekade terakhir telah banyak mengalami perubahan, baik di bidang ekonomi, hukum, sosial, dan teknologi informasi.
Hal tersebut tentunya menyebabkan sebagian besar pengaturan bea meterai yang ada, sudah tidak lagi dapat menjawab tantangan kebutuhan penerimaan negara yang meningkat serta perkembangan situasi dan kondisi yang ada di masyarakat.
"Oleh karena itu, untuk menjawab dan menyesuaikan dengan perkembangan tersebut serta mengantisipasi tantangan di masa yang akan datang, pemerintah memandang perlu untuk melakukan penggantian terhadap Undang-Undang Bea Meterai guna melakukan penyesuaian terhadap kebijakan pengenaan Bea Meterai dengan tetap berpegang pada asas kesederhanaan, efisiensi, keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan," katanya.
Berikut poin-poin penting yang berada dalam UU tentang Bea Meterai:
1.Perluasan objek Bea Meterai:
Perluasan objek Bea Meterai terletak pada perluasan definisi dokumen yang menjadi objek Bea Meterai, yang tidak hanya mencakup dokumen dalam bentuk kertas, tetapi termasuk juga dokumen dalam bentuk elektronik. Perubahan ini dimaksudkan untuk memberikan kesetaraan fungsi (level playing field) antara dokumen elektronik dan dokumen kertas sehingga asas keadilan dalam pengenaan Bea Meterai dapat ditegakan secara proporsinal.
2. Penyesuaian tarif:
Perubahan mendasar mengenai tarif, menyangkut penyesuaian besaran tarif Bea Meterai menjadi satu lapis tarif tetap yaitu sebesar Rp 10.000 yang sebelumnya dua lapis tarif yakni Rp 3.000 dan Rp 6.000.
3. Batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai:
Batas nilai nominal dokumen yang memuat jumlah uang yang dikenai Bea Meterai dilakukan penyesuaian dari yang semula Rp 250.000 menjadi Rp 5.000.000. Dengan pengaturan baru ini berarti terdapat dokumen yang semula dikenai Bea Meterai yang memuat jumlah uang dengan nilai di atas Rp 250.000 sampai dengan Rp 5.000.000, menjadi tidak dikenai Bea Meterai.
4. Penggunaan Meterai Elektronik dan meterai bentuk lain selain Meterai Tempel:
Pengembangan teknologi pembayaran Bea Meterai merupakan langkah kongkret yang harus dilakukan sebagai tindak lanjut dari pengenaan Bea Meterai atas dokumen elektronik, sehingga pembayaran Bea Meterai dapat dilakukan secara lebih sederhana dan efektif.
5. Pemberian fasilitas:
Pemberian fasilitas dapat diberikan berupa pembebasan dari pengenaan Bea Meterai atas dokumen tertentu yang diperlukan untuk kegiatan penanganan bencana alam, kegiatan yang bersifat keagamaan dan sosial, serta dalam rangka mendorong program pemerintah dan melaksanakan perjanjian internasional.
6. Pengaturan mengenai sanksi:
Dalam rangka penegakan hukum, dalam RUU Bea Meterai ini telah dimasukkan norma dan sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi pidana, yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pemenuhan kewajiban pembayaran Bea Meterai dan meminimalkan serta mencegah terjadinya tindak pidana pembuatan, pengedaran, penjualan, dan pemakaian meterai palsu atau meterai bekas pakai.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyebut penyesuaian tarif bea meterai menjadi Rp 10.000 per lembar berpotensi meningkatkan penerimaan negara di tahun 2021.
Direktur Perpajakan I DJP, Arif Yanuar mengatakan penerapan bea meterai Rp 10.000 akan menyumbang sekitar Rp 11 triliun ke kas negara.
"Potensinya Rp 11 triliun di 2021," kata Arif di gedung DPR, Jakarta, Kamis (3/9/2020).
Simak Video "Peruri Minta Maaf, Ungkap Alasan Sistem e-Meterai Tak Bisa Diakses"
[Gambas:Video 20detik]