Jakarta -
Pemerintah dipastikan akan mendapatkan banyak keuntungan usai menguasai
51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Pemerintah saat ini masih memegang 9,36% saham PTFI, dan pada Kamis (12/7/2018) ditandatangani head of agreement (HoA) antara
Freeport McMoRan Inc, induk PTFI, dan
PT Inalum (Persero) sebagai awal dimulainya proses akuisisi 51% saham tersebut.
Peristiwa itu disaksikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri ESDM Ignasius Jonan, dan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya.
Dari kesepakatan tersebut, Inalum harus menyiapkan dana US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (Kurs Rp 14.000/US$) untuk mencaplok 51% saham Freeport.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Target penyelesaian proses divestasi diberikan waktu maksimal 60 hari sejak HoA ditandatangani, namun, Menteri BUMN Rini Soemarno menargetkan akhir Juli tahun ini selesai.
Jika proses divestasi selesai, baru pemerintah resmi menjadi pemegang 51% saham alias mayoritas di PTFI, sedangkan sisanya adalah Freeport McMoRan sebesar 49%.
Setelah nanti resmi sebagai pemegang saham mayoritas, maka banyak keuntungan bagi negara, mulai dari penerimaan pajak, royalti, hingga pemberian dividen. Berapa banyak pajak hingga royalti yang akan diterima Indonesia, simak selengkapnya di sini:
 Foto: Dok. Inalum |
Berdasarkan data PT Inalum (Persero) yang dikutip
detikFinance, Jumat (13/7/2018), manfaat langsung bagi negara adalah bisa meraup miliaran dolar Amerika Serikat (AS) dari pajak dan royalti operasi Freeport Indonesia.
Dari data tersebut, mulai dari 2018 sampai dengan 2026 perusahaan tambang asal AS itu akan menyetorkan pajak penghasilan (PPh) Badan Usaha sebesar US$ 7,4 miliar atau Rp 103,6 triliun (kurs Rp 14.000) ke negara.
Rinciannya, pada tahun 2018 secara penuh akan membayar US$ 1,2 miliar, pada 2019 sebesar US$ 38 juta, 2020 sebesar US$ 341, pada 2021 sebesar US$ 576 juta, pada 2022 sebesar US$ 710, pada 2023 sebesar US$ 1,14 miliar. Kemudian pada 2024 sebesar US$ 1,33 miliar, pada 2025 sebesar US$ 1,08 miliar, dan pada 2026 sebesar US$ 971 juta, jika ditotal semuanya maka nilainya US$ 7,4 miliar.
Selain dari setoran pajak, Freeport Indonesia juga akan menyetorkan royalti kepada pemerintah sampai 2026 sebesar US$ 2,05 miliar atau setara Rp 28,7 triliun (kurs Rp 14.000).
Jika dirinci, Freeport akan menyetorkan royalti pada 2018 sebesar US$ 265 juta, pada 2019 sebesar US$ 132 juta, pada 2020 sebesar US$ 174 juta, pada 2021 sebesar US$ 197 juta, pada 2022 sebesar US$ 215 juta, pada 2023 sebesar US$ 268 juta, pada 2024 sebesar US$ 295 juta, pada 2025 sebesar US$ 263 juta, dan pada 2026 sebesar US$ 248 juta.
Kekayaan tambang Freeport Indonesia mengelola tambang dengan deposit emas terbesar di dunia. Total yang dikelola sampai 9 Juli 2018 sebesar Rp 2.290 triliun atau US$ 160 miliar (kurs Rp 14.317/US$).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama mengatakan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) sudah berkontribusi sejak diterbitkannya kontrak karya pertama.
"Kontrak karya Freeport itu kan sudah dari tahun 1967, dan di kontrak karya itu sudah dicantumkan kewajiban-kewajiban perpajakan yang menjadi beban dan kewajiban mereka," kata Hestu saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Jumat (13/7/2018).
Dia mengaku, pihak Ditjen Pajak Kementerian Keuangan juga terus melakukan pengawasan dengan ketat. Sebab, sebelum sampai kantor pajak LTO proses administrasinya dilakukan di KPP Penanaman Modal Asing (PMA) atau kantor wilayah khusus.
Adapun, pajak yang harus dibayarkan perusahaan tambang asal AS ini berupa PPh Badan, PPh Pasal 21, PPN, PBB.
Mengutip laman resmi Freeport McMoRan, Jumat (13/7/2018). Dalam tiga bulan pertama di 2018, Freeport Indonesia telah menyetor penerimaan negara yang hanya berasal dari pajak penghasilan. Dalam laporan keuangannya, telah dibayarkan sebesar US$ 401 juta atau Rp 5,41 triliun (kurs APBN Rp 13.400/US$).
Masih dari laporan keuangan Freeport McMoran, untuk penyetoran pajak penghasilan di tahun-tahun sebelumnya pun tercatat. Untuk 2017 sekitar US$ 869 juta atau Rp 11,6 triliun (kurs APBN Rp 13.400), untuk 2016 sekitar US$ 442 juta atau Rp 6,14 triliun (kurs APBN Rp 13.900), dan untuk 2015 sekitar US$ 195 atau Rp 2,43 triliun (kurs APBN Rp 12.500).
Jika dibandingkan tambang-tambang yang berada di Amerika Selatan, setoran pajak penghasilan yang disetorkan ke Indonesia dari tahun ke tahun lebih besar.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan yang diterima detikFinance, Jumat (13/7/2018), perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) ini hanya tidak membayarkan dividen pada kurun waktu 2012-2016.
Pada 2005, Freeport Indonesia telah membayarkan dividen kepada pemerintah sebesar US$ 112,4 juta atau setara Rp 1,17 triliun. Pada 2006 meningkat menjadi US$ 159,3 juta atau setara Rp 1,46 triliun.
Sedangkan pada 2007 kembali meningkat menjadi US$ 215,3 juta atau setara Rp 1,95 triliun. Pada 2008, setoran dividen merosot tajam hanya US$ 49,2 juta atau Rp 477,6 miliar.
Pada 2009, Freeport Indonesia tetap menyetorkan dividen sebesar US$ 212 juta atau setara Rp 2,06 triliun. Pada 2010 Freeport Indonesia menyetor US$ 168,5 juta atau setara Rp 1,51 triliun. Kemudian, pada 2011 menyetor 202,3 juta atau setara Rp 1,76 triliun. Sedangkan di 2017 telah menyetorkan US$ 103 juta atau Rp 1,4 triliun (kurs Rp 14.000).
Halaman Selanjutnya
Halaman