(Persero) berencana menjual sebagian hak partisipasi asetnya. Pertamina perlu izin dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
untuk melakukan aksi korporasi tersebut.
Rencana pelepasan aset perseroan ini sendiri bertujuan untuk meningkatkan kinerja portofolio bisnis Pertamina ke depan. Pertamina dikabarkan tengah mengalami kesulitan dalam hal keuangan.
Rencana ini menuai pro kontra. Seribuan pekerja yang tergabung dalam FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu) pun telah menggelar aksi demo di Kantor Pusat Pertamina. Mereka kompak menolak rencana itu.
Rini Soemarno akhirnya bicara. Dia menegaskan bahwa pemerintah selaku pemegang saham mayoritas terus mendorong perbaikan kinerja keuangan serta keberlangsungan Pertamina di masa yang akan datang.
Menurut Rini, rencana aksi korporasi yang diusulkan kepada pemerintah selaku pemegang saham merupakan bagian dari rencana bisnis guna meningkatkan kinerja portofolio bisnis Pertamina ke depan.
Dalam surat yang disampaikan ke Pertamina, Rini mengatakan, tidak ada kalimat penjualan aset ataupun persetujuan penjualan aset namun sebaliknya Pertamina diminta mempertahankan aset-aset strategis di hulu dengan menjadi pemegang kendali.
Lantas, bagaimana kelanjutan nasib dari pertamina? Simak berita selengkapnya.
Kondisi keuangan Pertamina dinilai sedang memasuki masa sulit. Sebab di tengah kurs dolar Amerika Serikat (AS) yang tengah tinggi, harga minyak dunia juga ikut mengalami kenaikan.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai kondisi itu menjadi salah satu penyebab Pertamina menjual asetnya, atau dalam hal hak kelola Pertamina. Terlebih, ketergantungan impor Pertamina juga masih cukup tinggi.
"Iya itu kan penyebabnya, kurs rupiah melemah jadi menambah beban," kata Said Didu kepada detikFinance.
Dia mengatakan, dengan tingginya harga minyak dunia saat ini, Pertamina juga harus menjalankan berbagai penugasan dari pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM jenis Premiun dan solar.
"Pertama penugasan Premium, harga sekarang dengan kurs sekiar itu Rp 8.500/liter dijual Rp 6.450/liter jadi Pertamina tanggung Rp 2.000/liter," jelasnya. Kemudian di solar hanya disubsidi Rp 500/liter," kata dia.
Seharusnya, kata Said Didu, pemerintah bisa memberikan subsidi yang lebih kepada Pertamina bila tetap memberi penugasan untuk tak menaikkan harga.
"Dulu itu memang mencabut subsidi 2015 dengan ketentuan setiap 3 bulan ditinjau harga Premium. Tapi pada saat itu harga minyak kan sekitar US$ 35-40 kurs Rp 13.000-an. Sehingga pada 2015 awal kebijakan itu tidak ada masalah, justru pertamina surplus. Tapi harga minyak naik, kurs melemah, tapi harga tidak diubah," jelasnya.
Dihubungi terpisah Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko mengatakan, bahwa Pertamina sudah mulai mengimpor sejak tahun 2004. Sebab kata dia, jumlah produksi minyak terus mengalami penurunan, sementara komsumsi mengalami peningkatan.
"Kalau impor kan memang dari tahun 2004 kita sudah jadi net impor, memang produksi kita turun, konsumsi naik. Makanya kita sekarang ini mau konversi ke gas, ke EBT, ke pemakaian biosolar, kita tingkatkan. Itu untuk menahan impornya," jelasnya.
Dari catatan detikFinance, Pertamina memiliki 6 unit kilang. Ke-enam kilang tersebut mampu memproduksi 900.000 barel per hari. Adapun keenam kilang tersebut, antara lain di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim di Sorong. Sementara tingkat konsumsi minyak masyarakat mencapai 1,6 juta barel per hari.
Said Didu mengatakan langkah penjualan aset, dalam hal ini hak partisipasi Pertamina dinilai kurang tepat untuk dilakukan. Menurutnya, rencana ini hanya menyelesaikan masalah jangka pendek.
"Solusi ini kan cashflow jangka pendek. Tapi dipakai untuk menjual hak, mengijonkan minyak. Itu kan berarti menjual potensi jangka panjang. Istilah saya, beras habis tapi jual rumah. Itu yang nggak match persoalannya," kata Said Didu.
Menurutnya, permasalahan yang dialami pertamina ini disebabkan oleh beban penugasan dari pemerintah untuk tak menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan solar.
Penugasan untuk tak menaikkan harga itu harus dilakukan saat harga minyak dunia yang mengalami kenaikan. Di sisi lain, kurs rupiah juga sedang mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
"Jadi beban itu yang menyebabkan cashflow Pertamina kesulitan," kata Said Didu.
Pemerintah sendiri saat ini memberi subsidi solar kepada Pertamina sebesar Rp 500/liter. Jumlah subsidi tersebut, masih belum bisa meringankan beban Pertamina. Bahkan, untuk Premium pun pemerintah tidak memberikan subsidi kepada Pertamina.
"Harga solar itu sekarang Rp 8.000-8.350/liter, dijual hanya Rp 5.500/liter, ditambah subsidi jadi Rp 6.000/liter. Jadi ada Rp 2.350 Pertamina nanggung. Itu kan jadi triliunan," katanya.
Untuk itu, kata Said Didu, seharusnya pemerintah bisa memberikan tambahan subsidi kepada Pertamina untuk bisa menutupi kerugian dari penugasan Premium dan solar.
"Jadi win-win-nya menurut saya, pemerintah perlu mensubsidi lagi sebagian dan masukan dalam APBN-P dibahas. Nanti diundur dibayarnya nggak apa, yang penting Pertamina punya jaminan akan dibayar. Kalau ada jaminan akan dibayar, maka Pertamina bisa cari sumher cash jangka pendek. Jadi bisa cari uang dulu," kata dia.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan, surat persetujuan dari Pertamina yang beredar belakangan ini bukan untuk penjualan aset, melainkan berkaitan dengan kerja sama dalam mengelola hak partisipasi (participating interest/PI).
Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan sejatinya aset yang dimaksud Pertamina dalam suratnya tersebut merupakan milik negara. Dalam surat persetujuan itu terdapat beberapa aset yang disebutkan antara lain kilang Balikpapan dan Cilacap.
"Itu bukan aset yang dijual, aset itu kan punya negara. Jadi Pertamina, contoh (Blok) Mahakam, dia bayar sewa sama negara karena asetnya punya negara," kata Djoko kepada detikFinance.
Djoko mengatakan rencana aksi pelepasan kepemilikan saham (share down) aset Pertamina berpotensi memberi dampak positif. Sebab, Pertamina tak perlu merogoh kocek kas internal dalam mengelola blok operasi tersebut.
"Pertamina nyebutnya aset, tapi sebetulnya aset itu punya negara. Jadi istilahnya share down, pengoperasian, malah dapat uang kalau sharedown, sharing risk, ada investasi masuk. Jadi cari partner pengoperasian. itu kan hanya hulu," katanya.
Djoko juga mengatakan, membagi pengelolaan kilang tersebut biasa untuk dilakukan. Pertamina, kata dia, juga kerap ikut mengelola atau menjadi operator dalam sebuah proyek.
"Pertamina bisa berpartner atau sebagai operator. Untuk yang ini Pertamina operastor yang mau share down sekarang. Tapi Pertamina bisa juga bagiin ke lapangan-lapangan lain, di mana Pertamina bukan operator kan ada juga," katanya.
"Contohnya seperti Exxon Cepu, itu kan operatornya Exxon, tapi Pertamina juga dia ikut situ. Itu nggak apa-apa, itu lumrah di dunia hulu migas," tutup dia.
Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengungkapkan Pertamina berencana mencari partner dalam mengelola kilang yang dioperasikan. Namun, kata Djoko, rencana itu malah diartikan dengan niatan Pertamina yang hendak menjual asetnya.
Djoko mengatakan bahwa dengan adanya partner tersebut, maka kinerja keuangan Pertamina bisa lebih terjaga. Sebab, Pertamina tak perlu merogoh kocek kas internal dalam mengoperasikan aset tersebut.
"(Keuntungannya) ya masuk ke Pertamina yang jelas. Jadi Pertamina tidak gerus uang internal pertamina kalau ada partner," kata Djoko.
"Kalau nggak ada partner kan otomatis uang equity internal Pertamina kan untuk ngebor dan lain-lain. Kan itu mendingan untuk urusan hilir keuangan Pertamina. Kalau tidak berpartner, tidak ada investasi masuk," sambungnya.
Djoko menjelaskan, bahwa aset yang dimaksud dalam surat Pertamina yang beredar belakangan itu sejatinya tetap menjadi aset negara. Dalam surat persetujuan itu terdapat beberapa aset yang disebutkan antara lain kilang Balikpapan dan Cilacap.
"Asetnya tidak dijual, tetap milik negara. ya kan kontraknya (kalau) habis balik ke negara. Kaya sekarang banyak kotrak yang akan habis itu balik negara. Nanti negara mau kasih ke siapa, eksisting, Pertamina, atau dioperasikan, aset tetap milik negara," jelasnya.
Lebih dari itu, Djoko mengatakan dengan Pertamina memiliki partner untuk mengelola kilang, maka bisa membuat kondisi keuangan Pertamina menjadi lebih terjaga. Khususnya, terkait dengan penugasan dari pemerintah untuk tak menaikkan harga BBM jenis Premium dan solar.
"Begini, misalnya uang internal Pertamina itu ada 10. Nah 10 kalau untuk ngebor 5, kan sisanya jadi tinggal 5. Tapi kalau untuk ngebor ada partner yang masuk, kan tidak keambil 5-nya (bisa untuk Pertamina)" tuturnya.
PT Pertamina (Persero) merupakan perusahaan dalam negeri yang bergerak sektor perminyakan dengan standar internasional. Namun besarnya perusahaan itu, tak menjamin kinerja keuangan Pertamina bisa terus terjaga positif.
Hal itu tercermin dari rencana Pertamina yang berniat menjual aset non strategis untuk bisa menjaga kinerja keuangan tetap sehat. Padahal, Pertamina memiliki puluhan anak usaha yang tergolong profit.
Bekas Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan walau memiliki banyak anak usaha yang mendapatkan profit, namun tak-serta dapat membantu kondisi keuangan induk usaha.
"Anak usaha itu tidak ada urusannya. Anak usaha Pertamina kan ada 21. Itu kan masing-masing untung. Nggak ada masalah. (Tapi) Nggak boleh (bantu Pertamina), kan sudah ada konsolidasi itu," katanya.
Seperti dikutip detikFinance dari laman resminya, saat ini Pertamina memiliki sebanyak 21 anak usaha yang bergerak di banyak bidang. Mulai dari pengeboran, layanan dan jasa, hingga dana pensiun.