Said Didu mengatakan langkah penjualan aset, dalam hal ini hak partisipasi Pertamina dinilai kurang tepat untuk dilakukan. Menurutnya, rencana ini hanya menyelesaikan masalah jangka pendek.
"Solusi ini kan cashflow jangka pendek. Tapi dipakai untuk menjual hak, mengijonkan minyak. Itu kan berarti menjual potensi jangka panjang. Istilah saya, beras habis tapi jual rumah. Itu yang nggak match persoalannya," kata Said Didu.
Menurutnya, permasalahan yang dialami pertamina ini disebabkan oleh beban penugasan dari pemerintah untuk tak menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan solar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi beban itu yang menyebabkan cashflow Pertamina kesulitan," kata Said Didu.
Pemerintah sendiri saat ini memberi subsidi solar kepada Pertamina sebesar Rp 500/liter. Jumlah subsidi tersebut, masih belum bisa meringankan beban Pertamina. Bahkan, untuk Premium pun pemerintah tidak memberikan subsidi kepada Pertamina.
"Harga solar itu sekarang Rp 8.000-8.350/liter, dijual hanya Rp 5.500/liter, ditambah subsidi jadi Rp 6.000/liter. Jadi ada Rp 2.350 Pertamina nanggung. Itu kan jadi triliunan," katanya.
Untuk itu, kata Said Didu, seharusnya pemerintah bisa memberikan tambahan subsidi kepada Pertamina untuk bisa menutupi kerugian dari penugasan Premium dan solar.
"Jadi win-win-nya menurut saya, pemerintah perlu mensubsidi lagi sebagian dan masukan dalam APBN-P dibahas. Nanti diundur dibayarnya nggak apa, yang penting Pertamina punya jaminan akan dibayar. Kalau ada jaminan akan dibayar, maka Pertamina bisa cari sumher cash jangka pendek. Jadi bisa cari uang dulu," kata dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman