Kondisi keuangan Pertamina dinilai sedang memasuki masa sulit. Sebab di tengah kurs dolar Amerika Serikat (AS) yang tengah tinggi, harga minyak dunia juga ikut mengalami kenaikan.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai kondisi itu menjadi salah satu penyebab Pertamina menjual asetnya, atau dalam hal hak kelola Pertamina. Terlebih, ketergantungan impor Pertamina juga masih cukup tinggi.
"Iya itu kan penyebabnya, kurs rupiah melemah jadi menambah beban," kata Said Didu kepada detikFinance.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertama penugasan Premium, harga sekarang dengan kurs sekiar itu Rp 8.500/liter dijual Rp 6.450/liter jadi Pertamina tanggung Rp 2.000/liter," jelasnya. Kemudian di solar hanya disubsidi Rp 500/liter," kata dia.
Seharusnya, kata Said Didu, pemerintah bisa memberikan subsidi yang lebih kepada Pertamina bila tetap memberi penugasan untuk tak menaikkan harga.
"Dulu itu memang mencabut subsidi 2015 dengan ketentuan setiap 3 bulan ditinjau harga Premium. Tapi pada saat itu harga minyak kan sekitar US$ 35-40 kurs Rp 13.000-an. Sehingga pada 2015 awal kebijakan itu tidak ada masalah, justru pertamina surplus. Tapi harga minyak naik, kurs melemah, tapi harga tidak diubah," jelasnya.
Dihubungi terpisah Dirjen Migas Kementerian ESDM Djoko mengatakan, bahwa Pertamina sudah mulai mengimpor sejak tahun 2004. Sebab kata dia, jumlah produksi minyak terus mengalami penurunan, sementara komsumsi mengalami peningkatan.
"Kalau impor kan memang dari tahun 2004 kita sudah jadi net impor, memang produksi kita turun, konsumsi naik. Makanya kita sekarang ini mau konversi ke gas, ke EBT, ke pemakaian biosolar, kita tingkatkan. Itu untuk menahan impornya," jelasnya.
Dari catatan detikFinance, Pertamina memiliki 6 unit kilang. Ke-enam kilang tersebut mampu memproduksi 900.000 barel per hari. Adapun keenam kilang tersebut, antara lain di Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim di Sorong. Sementara tingkat konsumsi minyak masyarakat mencapai 1,6 juta barel per hari.