Pembangkit EBT Mau Digenjot, Pemerintah Mesti Gimana?

Pembangkit EBT Mau Digenjot, Pemerintah Mesti Gimana?

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Selasa, 24 Mei 2022 18:57 WIB
Kementerian ESDM mencatat bauran energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai 15 persen. EBT ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025 mendatang.
Foto: Antara Foto
Jakarta -

Sejumlah langkah perlu dilakukan pemerintah untuk mengejar target pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT).

Hal ini perlu dilakukan sebab pengembangan pembangkit ramah lingkungan ini bukan tanpa tantangan.

"Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load). Dari berbagai jenis pembangkit EBT, pembangkit panas bumi menjadi salah satu yang bisa menggantikan peran PLTU sebagai pembangkit base-load.

Menurut data Kementerian ESDM, potensi panas bumi di Indonesia cukup melimpah, yakni sebesar 29.544 MW, sementara yang sudah beroperasi baru 2.276,9 MW atau 7,7%. Selain potensinya yang besar, kata Komaidi, pembangkit panas bumi juga memiliki Capacity Factor (CF) sampai 90%, jauh lebih tinggi dibandingkan pembangkit EBT lain seperti pembangkit surya (PLTS) sekitar 18% dan pembangkit bayu (PLTB) sekitar 30%.

ADVERTISEMENT

Persoalannya, kata Komaidi, harga jual listrik panas bumi masih mahal dan masa pembangunannya lama, yakni 7-10 tahun. Harga jual listrik panas bumi saat ini masih sekitar Rp 1.191 per kWh, sementara harga jual listrik batu bara hanya Rp 653,3 per kWh.

"Kondisi ini membuat kepentingan jangka pendek yang lebih mengemuka. Pemerintah tidak mudah menaikkan tarif listrik tapi juga tidak bisa membiarkan subsidi listrik di APBN membengkak."

Menurut Komaidi, kepentingan jangka pendek seperti itulah yang membuat pembangunan EBT tersendat-sendat, terutama pembangkit panas bumi. Hal ini terjadi karena PT PLN memegang monopsoni (pembeli tunggal).

"PLN tentu saja akan memilih PLTU karena harganya yang murah, sehingga BPP (biaya pokok penyediaan listrik) bisa lebih rendah. Kalau dengan panas bumi, siapa yang akan menutup selisihnya agar BPP PLN tetap affordable?" katanya.

Bersambung ke halaman selajutnya.

Komaidi menjelaskan, dengan posisi seperti itu, pemerintah harus membuat kebijakan yang memihak pada pengembangan EBT. Salah satu langkah yang sudah tepat, menurut Komaidi, adalah kebijakan pengeboran eksplorasi oleh pemerintah (government drilling) karena akan mengurangi risiko pengembang yang sangat tinggi di masa-masa awal pembangunan pembangkit panas bumi. Dengan government drilling, risiko pengembang di awal masa pembangunan diambilalih pemerintah.

Pengeboran eksplorasi yang sudah dilaksanakan pemerintah di Nage, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan di Cisolok Cisukarame, Jawa Barat. Sebagai gambaran, harga PLTP Dieng yang dioperasikan PT Geo Dipa Energi (Persero) bisa mencapai US$7-8 sen per kWh. Pengeboran wilayah kerja Dieng dilakukan Pertamina, Geo Dipa hanya membangun pembangkit dan mengoperasikannya. Government drilling mereplikasi model ini.

Namun, kata Komaidi, ada kebijakan lain yang perlu dilakukan pemerintah menyangkut pasar. Langkah ini diperlukan agar harga yang terbentuk menjadi kompetitif.

"Pemerintah harus mengubah pasar yang bersifat monopsoni menjadi pasar terbuka, sehingga pengembang bisa menjual listrik kepada siapa saja. Konsumen juga bisa membeli listrik kepada pengembang mana saja. Untuk itu, jaringan transmisi dan distribusi juga harus diubah menjadi open access seperti pada gas dan sistem kelistrikan di banyak negara. Pengembang tinggal membayar sewa kepada pemilik jaringan transmisi dan distribusi," kata Komaidi.

Untuk diketahui, transisi energi berkelanjutan merupakan salah satu agenda utama dalam Presidensi Indonesia dalam G20 pada 2022. Agenda Presidensi G20 tersebut sejalan dengan komitmen PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) untuk mengembangkan panas bumi dan memastikan implementasi prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) menjadi bagian terintegrasi dari bisnis panas bumi PGE.

Penerapan aspek-aspek ESG ini merupakan upaya dalam memberikan nilai tambah serta dukungan PGE pada program pemerintah terkait pemanfaatan energi baru terbarukan yang ramah lingkungan khususnya panas bumi.


Hide Ads