Swasta dan BUMN 'Rebutan' Proyek Infrastruktur Jokowi

Swasta dan BUMN 'Rebutan' Proyek Infrastruktur Jokowi

Danang Sugianto - detikFinance
Sabtu, 10 Mar 2018 10:00 WIB
Swasta dan BUMN Rebutan Proyek Infrastruktur Jokowi
Foto: Sugeng Harianto
Jakarta - Maraknya proyek infrastruktur yang tengah berlangsung membawa berkah bagi perusahaan konstruksi. Namun berkah itu sepertinya hanya dirasakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pihak swasta mengaku iri melihat para BUMN karya yang seakan kenyang melahap banyak proyek. Mereka merasa tak memiliki kesempatan untuk ikut mencicipinya, terlebih kontraktor kecil di daerah.


Perseteruan antar perusahaan infrastruktur swasta dan berplat merah kembali mencuat ketika salah satu pengusaha asal pulau Sumatera berkeluh kesah di hadapan Presiden Joko Widodo pada acara Rapimnas Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) pada Rabu 7 Maret 2018 yang lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Swasta sebut BUMN terlalu kuasai proyek-proyek yang ada, sementara BUMN menganggap swasta tak sanggup menggarapnya. Berikut rangkuman beritanya.

Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Errika Ferdinata mengatakan seluruh kontrak konstruksi yang dikerjakan oleh BUMN hanya dilakukan oleh BUMN itu sendiri bersama anak-anak usahanya.

"Mereka (BUMN) mengoptimalkan grup mereka, semua mereka kerjakan sendiri," ujarnya.


Padahal menurut Errika hal itu justru menimbulkan banyak kerugian bagi BUMN itu sendiri. Beban konstruksi yang berlebihan membuat mereka keteteran.

Bagaimana tidak, para BUMN banyak melakukan pekerjaan konstruksi. Padahal, jumlah tenaga kerja dan ketersediaan alat berat pendukung konstruksi tentu ada batasnya. Begitu batas itu terlewati, maka BUMN yang bersangkutan tak akan maksimal mengerjakan proyek konstruksi yang dikerjakan.

Hal itu tercermin dari maraknya kecelakaan konstruksi yang terjadi belakangan ini.

Menanggapi hal itu, Direktur Utama PT Adhi Karya Tbk Budi Harto menegaskan, proyek-proyek pemerintah yang digarap BUMN tidaklah mudah. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan, seperti menalangi biaya proyek terlebih dahulu.

"Seperti LRT, ini kan kami mendanai dulu. Kalau swasta kira-kira bersedia? Kemudian nanti pembayaran ke depannya juga masih bertahap begini. Pakai audit yang ketat dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dari konsultan Kementerian Perhubungan, ketat semua," tuturnya


Tak hanya LRT, begitu juga untuk proyek di daerah. Budi mengaku sering kali Adhi Karya melakukan penalangan terlebih dahulu untuk pembebasan lahan. Oleh karena itu dibutuhkan keuangan yang kuat.

"Tanah kami talangi dulu, dari miliaran sampe triliunan, apa swasta bersedia? jadi kondisinya tidak normal-normal saja. Kami mendanai dulu proyek-proyeknya. Kemudian tanah belum bebas kami talangi dulu. Sampai anggaran pemerintah kuat diganti," imbuhnya.

Budi yang juga menjadi Asosiasi Kontraktor Indonesia (AKI) menegaskan bahwa BUMN sebenarnya tidak menyentuh proyek-proyek dengan nilai di bawah Rp 100 miliar.

Kementerian BUMN pun ikut merespons polemik itu. Deputi Bidang Usaha Konstruksi dan Sarana dan Prasarana (KSPP) Kementerian BUMN, Ahmad Bambang menjelaskan, bahwa proyek-proyek tol yang di garap BUMN hanya meneruskan proyek-proyek yang selama ini tak berjalan. Bahkan ada yang dulunya digarap swasta.

"Tol yang tidak jalan konsesinya sudah diberikan ke swasta, seperti Bogor-Sukabumi, seperti Becakayu. Itu BUMN beli konsesinya, konsesinya kemudian dibeli oleh BUMN untuk mendukung percepatan. Itu dari siapa? Itu swasta," tuturnya.


Sementara untuk proyek baru dianggap tidak menarik bagi swasta. Dia mencontohkan proyek Tol Trans Sumatera yang dipandang memiliki nilai ekonomi yang rendah.

"Terus yang baru-baru, tender baru sudah tak terlalu menarik, mau Sumatera? Mau kemudian itu nyeberang Merak ke selatan itu kan nggak menarik. BUMN invest, return-nya nggak terlalu tinggi BUMN," ujar dia.

Hide Ads