Pemerintah mengarahkan perbankan untuk memberikan keringanan atau relaksasi kredit untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Keringanan ini berupa penundaan bayar cicilan selama satu tahun.
Ekonom Senior INDEF Aviliani mengungkapkan kebijakan tersebut memiliki mekanisme khusus yakni debitur harus mengajukan restrukturisasi dan tidak bisa otomatis seluruh debitur yang ada mendapatkan penangguhan.
"Dan dicatat, ini tidak berlaku untuk semua. Karena apa, kalau yang berpenghasilan tetap, itu kan tidak masalah kecuali dia di PHK. Pastikan dia yang di PHK akan mengalami penurunan pendapatan. Nah, itu mungkin restrukturisasi bisa diajukan. Jadi yang perlu menunda itu orang-orang yang benar terkena dampak ekonomi yang nanti akan dilihat kembali oleh perbankan apakah layak atau tidak," kata Aviliani saat dihubungi, Senin (30/3/2020).
Dia menjelaskan relaksasi kredit tersebut hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha yang berdampak langsung terhadap daya beli yang menurun akibat penyebaran virus corona. Namun demikian, Aviliani tetap khawatir terhadap kesehatan perbankan itu sendiri.
Kekhawatirannya tersebut sejalan dengan relaksasi kredit yang diberikan yakni dengan pinjaman dibawah Rp10 miliar. Sedangkan sektor-sektor yang terpengaruh dampak Covid-19 sebagian besar pinjaman mereka di bawah Rp 10 miliar.
"Sebagian besar pinjaman mereka itu dibawah Rp10 miliar, nah itu pasti akan terjadi masalah missmatch atau cashflow buat banknya sendiri. Nah bagi masyarakat sendiri tetap ada problem, karena dengan penundaan cicilan bunga juga tetap, jadi itu dihitung bunga setahun lagi kedepan. Dan justru beban dia akan naik," tukasnya.
Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, jika relaksasi kredit atau penundaan cicilan diberlakukan kepada semua debitur, maka dampak ke perbankannya akan besar sekali terutama pada rasio kredit bermasalah (NPL).
Ia memperkirakan, NPL bank akan melonjak tinggi dari posisi sekarang ini yang berada pada kisaran 2,79% (gross) dan NPL net sebesar 1,00% per Februari 2020. Dengan kondisi demikian, tentu yang harus diperhatikan oleh regulator adalah dari sisi kesehatan perbankan itu sendiri.
"Di negara lain itu justru sektor keuangan yang paling dijaga jangan sampe jatuh karena kalo sektor keuangan itu jatuh dampaknya bisa kemana-manakan. Ini NPL saja sudah segini. Apalagi kalo diterapin kepada semua (debitur) itu kan bisa tinggi NPL nya. Jadi pasti itu NPL nya akan naik luar biasa. Terus yang harus OJK pikirkan itu adalah indikator kesehatan bank sama GCG kan. Karena pasti indikatornya akan turun semua," paparnya.