Biaya haji menuai perhatian khalayak belakangan ini. Terutama ketika, biaya haji yang ditanggung jamaah mengalami kenaikan secara signifikan.
Saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR RI 19 Januari 2022 lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) sebesar Rp 98,89 juta. Dari situ, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BIPIH) yakni biaya yang harus dibayarkan jemaah Rp 69,19 juta atau sebesar 70% dan nilai manfaat Rp 29,70 juta atau 30%.
Sementara, BPIH tahun 2022 sebesar Rp 98,37 juta di mana komposisi BIPIH Rp 39,88 juta (40,54%) dan nilai manfaat Rp 58,49 juta (59,46%).
Yaqut mengatakan, usulan kenaikan ini telah melalui pertimbangan yang matang. Kemudian usulan ini untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji.
DPR kemudian membentuk panja dengan Kementerian Agama untuk membahas efisiensi usulan biaya haji. Singkat cerita, akhirnya pemerintah dam DPR menetapkan total biaya haji Rp 90,05 juta, di mana yang harus dibayarkan jemaah Rp 49,81 juta dan nilai manfaat Rp 40,23 juta.
Di tengah heboh biaya haji ini, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah buka suara. Kepada Tim Blak-blakan detikcom, Fadlul bicara panjang lebar mengenai kondisi pengelolaan biaya haji terkini. Selain itu, ia juga mengungkap rencana pengembangan dana haji ke depan. Berikut petikan wawancaranya:
Angka awal muncul Rp 69 juta diusulkan oleh Kementerian Agama dan diketahui BPKH. Tapi kemudian, disepakati dalam rapat dengan DPR munculah angka terakhir Rp 49 jutaan. Itu pun sebenarnya nggak cukup ya. Ongkos naik haji yang kita kenal selama ini, sebenarnya komponennya apa saja sih?
Pertama, mungkin yang perlu diluruskan kan ya, bahwa tidak subsidi pemerintah di dalam komponen itu.
Jadi bukan APBN ya?
Bukan. Jadi yang ada adalah namanya nilai manfaat. Nilai manfaat adalah hasil investasi yang dikelola oleh BPKH untuk calon jemaah haji yang akan berangkat. Itu yang pertama. Biar clear nih, karena banyak yang bilang bahwa, 'Saya nggak disubsidi ko itu uang saya sendiri yang dikelola' gitu ya. Itu pertama.
Yang kedua, ada dua terminologi di dalam Undang-undang Pengelolaan Keuangan Haji dan Undang-undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang disebut sebagai BIPIH dan BPIH.
Kalau BPIH adalah biaya penyelenggaraan ibadah haji. Itu adalah total general dana yang diperlukan oleh satu orang jemaah haji untuk berangkat ke haji.
Satu lagi ada namanya BIPIH. Ini adalah komponen yang dibayarkan oleh calon jemaah haji, termasuk di dalamnya setoran awal, setoran lunas dan nilai manfaat virtual account yang dihasilkan dari pengelolaan keuangan haji.
BPIH itu ditentukan, diusulkan oleh Kementerian Agama, diputuskan di dalam rapat panitia kerja pengelolaan ibadah haji, Komisi VIII DPR. Sementara, BIPIH adalah porsi yang ditetapkan setelah BPIH-nya sudah ditetapkan oleh Komisi VIII.
Jadi bahasanya, BPIH-nya berapa, gitu kan? Awalnya kan kemarin Rp 98 juta. Kemudian pas dicek ternyata bisa jadi Rp 90 juta. Waktu Rp 98 juta, BIPIH-nya itu Rp 69 juta. Pada saat turun menjadi Rp 90 juta, BIPIH bisa dihitung sekitar Rp 50 juta something.
Jadi badan BPKH adalah di nilai manfaat, berapa yang harus dibayarkan kepada calon jemaah haji, supaya yang dibayarkan dari setoran lunas, setoran awal dan nilai manfaat yang ada itu bisa memenuhi total general Rp 90 juta itu.
Kita bicara awam ya, kalau misalnya mau daftar haji reguler, saya harus bayar atau masukkan dana, berapa sekarang?
Rp 25 juta.
Dan sambil menunggu waktu saya akan berangkat, Rp 25 juta yang dikelola BPKH untuk menciptakan nilai manfaat yang bisa menutupi ongkos naik haji?
Iya.
Jadi itu nggak mudah sebenarnya kan? Artinya konteksnya, banyak sekali, saya paham bahwa BPKH nggak bisa serampangan menetapkan tempat investasi misalnya, tempat pengelolaan, nggak boleh terlalu agresif. Kabar-kabarnya, kalau misalnya ini diteruskan, pola yang ini diteruskan. Kan nggak fair jemaah yang akan datang, jemaah haji sebelumnya sudah tercover dan itu kan akhirnya mengikis nilai manfaat. Pada akhirnya nanti yang repot jemaah selanjutnya. Dari angka kelolaan itu, apakah semuanya menutupi pertanyaannya?
Logika investasi secara teori setiap hasil investasi kan didistribusikan kepada seluruh investor. Dalam hal ini, setiap dana yang dikelola, hasil investasinya didistribusikan kepada seluruh jemaah haji. Calon jemaah haji bukan cuma yang tahun ini berangkat aja, kita sekarang punya 5,2 juta jemaah haji tunggu. Yang sekian puluh tahun segala macam. Pada saat kita mendistribusikan nilai manfaat, itu kan logikanya secara proporsional ke seluruh.
Sekarang isunya adalah, keberangkatan haji pada tahun ini dan tahun sebelumnya itu dibiayai oleh hasil investasi orang yang nunggu. Jadi apakah makanya selalu ada wacana kalau di seminar, webinar haji yang berkeadilan. Dalam artian begini, adil buat siapa, adil buat yang berangkat atau orang yang nunggu.
Ini kan artinya dana sebenarnya yang seharusnya nggak cukup terus diambil dari sini?
Hasil nilai manfaat ya. Karena bonggolnya Rp 25 juta itu nggak boleh diambil. Itu seluruh pihak, Komisi VIII, Kementerian Agama paham betul bahwa yang Rp 166 triliun yang total Rp 25 juta yang setoran 5,2 juta orang itu nggak boleh dipakai buat orang berangkat. Yang boleh dipakai adalah yang nilai manfaat.
Hasil investasinya kan?
Hasil investasinya, pokoknya nggak boleh.
Karena kita juga menjaga investasi yang berkelanjutan pada akhirnya gitu ya?
Betul. Tapi di dalam masih ada tarik menarik nih, karena bahasanya, kita pengelolaan haji ini bahasanya menggunakan akad wakalah.
Apa itu?
Wakalah itu istilahnya kita mewakilkan. Jadi jemaah-jemaah haji mewakilkan kepada BPKH untuk melakukan investasi. Termasuk di dalamnya mewakilkan berapa porsi yang bisa dimanfaatkan untuk jemaah haji yang mau berangkat maupun yang tunggu.
Walaupun, menurut konsep yang saya tahu mengenai wakalah di dalam pasar modal. Wakalah itu adalah sebatas mewakilkan sebagai manajer investasi saja. Tidak ada porsi kewajiban untuk membagi nih, yang mana, buat siapa, yang mana karena 100% langsung didistribusikan. Ini masih ada perdebatan di situ. Itu yang pertama.
Sehingga pada saat mau besar, porsi besar nilai manfaat untuk si calon yang mau berangkat, menurut akadnya nggak salah. Karena kan sudah diwakilkan dari awal. Padahal kalau di dalam konsep wakalah di pasar modal, kalau kita mengelola reksa dana biasa, ya 100% lah buat calon investor.
Kalau itu yang terjadi maka si yang mau berangkat haji tahun ini akan membayar banyak sekali kekurangan yang harus di-topup dari total Rp 90 juta itu.
Ini kan akhirnya merepotkan BPKH dan tantangannya semakin lama semakin berat. Apalagi 2027 akan ada dua kali haji di tahun yang sama?
Nah, perlu dikoreksi lagi, haji yang 2 kali dalam setahun itu 2038-2039. 2027 adalah pembayarannya. Karena kita mau bayar itu sekitar 3-4 sampai 6 bulan sebelum jemaah haji berangkat. 2027 itu tahun yang sama kita harus bayar di Januari dan bulan Desember kalau nggak salah di tahun yang sama.
Bukan hajinya yang dua kali?
Bukan hajinya tapi pembayarannya, pengeluaran disbursement-nya itu yang dua kali dalam setahun.
Kondisi yang semakin berat ini apakah mulainya nggak tepat, misalnya kita menetapkannya terlalu murah, nggak realistis, sehingga yang terbebani yang makin ke sini, makin ke sini?
Jadi sebenarnya Rp 25 juta ini tidak pernah naik dari tahun 2010 menurut catatan kita. Sementara, biaya total keberangkatan haji itu dulu cuma Rp 35 juta. Total 2010. Artinya Rp 25 juta bayar awal, bahasanya kayak semacam booking fee, terus mau berangkat bayar Rp 10 juta lagi. Total benar dong Rp 35 juta nggak ada yang salah dong. Bahkan nilai manfaatnya ada sebagian kecil, yang diberikan.
Pas ke sini itu dari Rp 35 juta, Rp 40 juta, Rp 60 juta sampai terakhir 2019 Rp 68 juta. Tapi Rp 25 juta-nya ini nggak naik. Nah, pas 2022 itu Rp 98 juta kan. Itu sebenarnya bukan biaya hajinya kemahalan tapi setorannya nggak naik-naik gitu.
Siapa yang menentukan itu?
Itu sebenarnya antara Kementerian Agama dan Komisi VIII juga sih.
Tahun depan harusnya naik?
Di dalam kesimpulan panja memang rekomendasinya tahun setoran awalnya harus naik.
Jadi berapa?
Belum dipastikan itu nanti tergantung kondisi, harus ada diskusi lagi itu.
(acd/eds)