Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mempertanyakan potensi pasar karbon Indonesia. Pasalnya, proyek karbon Indonesia yang tercatat masih sangat sedikit. Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), baru ada empat proyek Bursa Karbon (IDXCarbon).
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menjelaskan saat ini Bursa Karbon baru laku Rp 78 miliar sejak peluncurannya pada 2023. Selain itu, pembeli jasa Bursa Karbon masih didominasi oleh pelaku usaha di sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
"Perkembangan bursa karbonnya sampai sekarang, seperti yang tadi dijelaskan, baru menyangkut jumlah yang, ya, kita mau bagaimana juga baru tingkatannya sekitar Rp 78 miliar, Rp 78 miliar, dan apakah ini sesuai dengan ekspektasi? Dan yang pembayar pajaknya pun rata-rata masih dalam lingkup PLTU," ungkap Misbakhun dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama jajaran Kementerian Keuangan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
Ia mempertanyakan efektivitas kebijakan tersebut. Pasalnya, terdapat narasi yang menyebut pajak karbon justru membebani biaya energi dan ekonomi makro. "Ini kalau menurut saya yang penjelasan lebih lanjutnya, kenapa ketika kita memilih kebijakan ini justru menjadi beban kepada ekonomi," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Anggota Komisi XI DPR RI, Thoriq Majiddanor, mempertanyakan langkah konkret dari adanya Bursa Karbon dan pajak karbon. Di sisi lain, ia juga mempertanyakan mekanisme pembayaran pajak bagi perusahaan pembeli kredit karbon di Bursa. Ia menilai, harga karbon domestik masih sangat rendah.
"Bagaimana mekanisme sinkronisasi (pajak karbon) dengan perdagangan karbon? Misalnya, dapatkah pelaku menggunakan kredit karbon dari IDX karbon untuk mengkompensasi kewajiban pajak karbonnya? Kemudian, harga karbon domestik juga masih sangat rendah, Rp 60.000 per ton. Kemudian, apakah pemerintah berencana meningkatkan for price pajak karbon di atas Rp 30 per kilogram seiring berjalannya waktu?," jelasnya.
Kritik tentang Bursa Karbon dan penerapan pajak karbon juga disampaikan Anggota Komisi XI DPR, Musthofa, yang menyebut pasar karbon di Indonesia masih sangat minim. Padahal, pajak karbon sendiri telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"Faktanya, mulai dari tahun 2023 hingga tahun 2025 ini masih minimalis. Karena masih minimalis ini tentu kan tidak sesuai dengan harapan kita bersama. Sehingga ketika undang-undang itu sudah disahkan dalam pelaksanaannya tidak sesuai, ini upaya yang harus dilakukan apa? Untuk percepatan mengejar ini," jelasnya.
(ara/ara)