Buka-bukaan BI Soal Tantangan Ekonomi di 2020

Wawancara Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia

Buka-bukaan BI Soal Tantangan Ekonomi di 2020

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Senin, 30 Des 2019 18:20 WIB
Foto: Deputi Gubernur BI Destry Damayanti (Sylke Febrina Laucereno)
Jakarta - Tahun 2020 tinggal menghitung hari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi masih di bawah target yang ditetapkan oleh pemerintah.

Penyebabnya mulai dari faktor eksternal yang masih mengalami ketidakpastian, hingga di dalam negeri yang membutuhkan sumber pertumbuhan baru.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti memaparkan apa saja peluang dan tantangan yang akan dihadapi oleh Indonesia untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut kutipan wawancara dengan Destry Damayanti detikcom:




Bagaimana Bank Indonesia melihat kondisi perekonomian di tahun 2020 mendatang?

Memang kita melihat dari globalnya ada ketidakpastian yang tinggi, memang kalau dilihat data Amerika Serikat (AS) sepertinya membaik, bahkan sekarang kan less dovish ya dan tidak ada lagi pembahasan penurunan suku bunga. Tahun 2020 diperkirakan akan flat.

Artinya di AS mereka melihat sudah mulai recovery lebih stabil. Tapi masih juga masih banyak yang mempertanyakan apakah ini akan sustain atau tidak, karena kalau dilihat dari source of growth mereka masih andalkan konsumsi masyarakat sama seperti kita juga, investasinya belum juga tumbuh. Di luar masih on and off.

Terus kita lihat juga pemerintahan mereka juga sekarang ekspansif, dia keluarkan dana untuk fiskal media cukup agresif lah ya US$ 400an bilion dalam jangka waktu 3 tahun ke depan, itu impactnya ke fiskal defisit dia makin melebar. Mereka kan tidak ada ketentuan seperti kita 3%.

Terus kita bicara Inggris dengan kemungkinan Brexit terjadi tapi mungkin bisa no deal ini menimbulkan ketidakpastian. Terus juga ada masalah lagi di Eropa sendiri ekonominya masih melambat terus. Kalau yang dikhawatirkan di China ini kan makin lama makin slow down itu ada beberapa indikasi korporasi di sana kena dengan perlambatan ekonomi mereka.

Bayangkan China dengan skala GDP nomor 2 ya mungkin saat ini sekitar US$ 12 triliun gede sekali terus dengan penduduk yang jumlahnya 1,5 miliar dia cuma tumbuh 6% itu nggak akan mungkin bisa angkat ekonominya. Kita bayangkan di China downside risknya juga besar.



Banyak investasi yang keluar?

Sekarang arahnya banyak keluar, semua negara juga begitu. Jadi itu menimbulkan risiko juga ke kita karena ekonomi kita ini cukup dekat dengan China dan secara sentimen juga China panutan buat emerging market, apa yang terjadi di China gampang sekali kena di emerging market termasuk Indonesia. Apalagi China negara nomor dua tujuan ekspor kita juga. Jadi kedekatan secara ekonomi secara realnya cukup besar karena investasi China juga makin besar gara-gara tadi, strategi juga lebih ke outward looking lebih keluar.

Berarti Indonesia tidak bisa mengharapkan dari pergerakan global?

Dari global itu kita mungkin belum bisa berharap banyak. Nah sekarang tinggal yang domestik kan sama kita selama ini di-support konsumsi masyarakat yang stabil di 5%. Tapikan at the end konsumsi masyarakat kalau tidak diimbangi dengan investasi nggak bisa sustain.

Makanya kenapa pemerintah bersikeras untuk agar investasi tumbuh dan makanya ada Omnibuslaw karena itu kunci investasi supaya pertumbuhannya bisa sustain. Bank Indonesia sendiripun melihat itu sejauh ini bisa jaga stabilitas, rupiahnya stabil karena juga banyak terobosan yang dilakukan BI, dari instrumen DNDF instrumen repo, fx swap sama BI diaktifkan sehingga kekurangan likuiditas cepat diisi oleh Indonesia.

Ditambah lagi masalah inflasi BI sama sama dengan pemerintah kan punya tim pengendali inflasi daerah (TPID) itu kan berhasil dan bagus ya dengan pemerintah sama-sama kita mengidentifikais penyebab inflasi terbesar di daerah. Jadi memperhatikannya lebih ke daerahnya dan itu sejauh ini bisa dikelompokkan oh ternyata masalah cabai, ayo kita sama-sama tanam cabai atau yang lain. Atau dari pusat melihat komoditi ini langka mau nggak mau mengimpor. At least inflasi terkendali, data inflasi mau keluar ya kita perkirakan sesuai target.

Terus sekarang rupiah relatif stabil, year to date juga membaik. Lalu sekarang apalagi yang perlu dilakukan Bank Indonesia? Karena kan stabilitas itu tidak akan mungkin bertahan lama kalau tidak ada growth, karena itu saling terkait apalagi visi BI berkontribusi nyata untuk pertumbuhan. BI mendukung momentum pertumbuhan ini, makanya kebijakan yang dilakukan BI itu kan dia tidak hanya mengandalkan moneter.

Sementara kalau kita melihat negara-negara lain itu cuma interest rate aja yang mereka hajar. Terakhir mereka mulai quantitative easing, kita kan juga ada makroprudensial, tapi ditambah memperkaya instrumen juga. Misalnya dengan sistem pembayaran karena kita juga kan harus ciptakan yang lebih cepat dan efisien.

Bagaimana menciptakan sistem pembayaran yang agile dan dengan kondisi sekarang digital ekonomi tapi juga bisa cepat aman dan itu sedang dikembangkan oleh BI dan kebijakan yang syariah menggali potensi yang ada. Jadi berbagai ramuan kebijakan ini dilakukan oleh BI supaya dukung program pemerintah termasuk membantu klaster yang terkait dengan inflasi.

Nah jadi kita melihat ke arah sana, kita lihat untuk global belum bisa banyak diandalkan. Jadi domestik harus beralih tidak hanya bisa dari konsumsi. Kan program pemerintah banyak sekali menyasar program subsidi non bbm sudah targeted dan di bawah sudah. Kemudian ada program kesehatan sekolah dan segala macam nah sekarang didorong dari produksinya investasi makanya BI mendukung omnibuslaw yang akan memberikan kemudahan.



Kondisi ekonomi seperti ini ada memang siklus tahunan?

Sebenarnya ada siklusnya, cuma ini sekarang tidak bisa dilihat.. Kalau dulu itu begini, jika masalahnya belum struktural itu bisa terjadi siklus. Misalnya investasi slow down karena sekarang kapasitas produksinya masih longgar, sehingga investasi diturunin. Sampai beberapa tahun kemudian, jika sudah tepat kapasitas yang ada dinaikin dan orang investasi lagi.

Itu kalau dalam kondisi normal, tapi kondisi sekarang itu struktural seperti misalnya Indonesia kan mau berubah yang tadinya ekspor kita raw komodity kita mau ubah dulu jadi industri. Itukan butuh waktu, bangun pabrik, beli mesin dan masuk manufaktur itu pasti risikonya akan lebih besar dibanding gali aja terus ekspor.

Kalau digali saja lalu diekspor, misalnya nikel langsung diekspor nilainya tidak seberapa, kalau diproses awal saja sudah naik besar harganya, nanti diproses lagi jadi barang apa naiknya lebih besar, inikan butuh waktu. Arah kita ini sudah benar. Memang prosesnya agak lebih panjang jadi mungkin sekarang ini ekonomi agak stagnan tapi akan nanti naik pelan-pelan.

Butuh waktu berapa lama biasanya untuk kembali naik?

Begini, butuh structural reform kalau di AS dia hajar memberikan injeksi segala macam ke perekonomian, tapi investornya masih belum mau investasi dan mungkin ada masalah lain. Mau injeksi seperti apa, uangnya tidak akan terserap di ekonominya.

Kemudian AS dan Eropa kerap kali keluar masuk ke emerging market karena mau dapat return yang tinggi, pilihan mereka di sana. Jadi mereka (AS dan Eropa) walaupun pemerintahnya sudah genjot tetap saja recovery tapi lambat. Mereka itu recovery ada U shape jadi membentuk huruf U, V shape, W shape ada yang L shape kalo struktur jadi memang butuh restrukturing yang besar. Ini butuh baru nanti kita mulai naik pelan-pelan.

Kalau Indonesia pernah pakai pola recovery yang mana?

V Shape, kita dulu waktu krisis moneter 98 itu turun banget minus 13 besoknya cepat naik

Apa penyebabnya?

Waktu krisis moneter di satu sisi memang ada yang dirugikan tapi ada yang diuntungkan. Karena krisis 97-98 orang yang pegang dolar AS dulu untungnya luar biasa. Tapi orang yang pegang rupiah ada juga yang naiknya luar biasa. Deposito dulu bunganya 60% kan inflasinya tinggi. Lalu banyak Orang kaya baru (OKB) dan teeeng naik (pertumbuhannya). Pada waktu itu ada komoditi booming juga dan makanya cepat naiknya.

Kelompok 20% teratas dia menguasai pangsa ekonominya gede, jadi mereka bergerak ekonomi bisa bergerak semua. Sekarang suka dilematis, dia tumbuh cepat tapi pemerataanya bisa terbengkalai gitu karena tumbuh cepat untuk motornya ini di atas dan gapnya yang gede.

Strateginya kan pertumbuhan dulu, baru masuk stabilisasi kemudian pemerataan seperti itu biasanya. Kita sudah tumbuh cepat waktu itu, terus mulai stabil di level 6%an. Sambil memperkecil pemerataan, program subsidi banyak jalan waktu itu BBM, ternyata waktu itu subsidinya kan tidak tepat sasaran.

Jadi banyak yang tidak layak dapat tapi dia dapat. Akhirnya kan jadi ada masalah. Tapi memang Gini koefisiennya mengecil akhirnya pertumbuhan kita tidak bisa cepat lagi, apalagi komoditi booming sudah habis.

Kita butuh new growth, sumber pertumbuhan baru, sekarang harus cari pertumbuhan baru tidak mengandalkan komoditi lagi. Makanya ekspor kita juga harus yang ke processing, jadi lebih ke natural resources base industri jadi CPO diolah, B30 kan itu bagus banget. Terus juga hilirisasi, nikel yang di morowali menciptakan lithium untuk baterai kan listrik kendaraan atau apa kan membutuhkan baterai. Itu kan butuh waktu nggak bisa langsung cepat apalagi kita butuh investasi. Kami BI konfidens karena kami lihat tracknya, arahnya sudah benar.



Di datanya BI yang lebih cepet turun bunga deposito dibanding bunga kredit, memang transmisinya lama?

Ya memang kita juga kemarin kenapa nggak turunin suku bunga BI karena kita lihat transmisinya tertinggal. Kalau di pasar uang kelihatan sekali kita sudah turun 100 bps dan pasar uang juga turun ratusan bps.

Kalau di kredit kan 30 bps, kalau di dana 70an bps. Karena memang permintaan kredit itu membuktikan bunga bukan segalanya pertama. Kedua, ya bank sekarang juga lebih banyak yang sedang konsolidasi kan mereka hadapi masa cukup sulit dengan kondisi global seperti itu. Apalagi yang ekspor oriented.

Bagaimanapun kita masih tumbuh 5%, tapi melambat dengan kondisi jadi pasti akan ada yang slowdown ekonominya. Sehingga butuh adjustment, jadi investasi konsumsi masyarakat juga itu akhirnya mungkin membuat investornya juga menahan diri dulu. Dan banknya pun konsolidasi dulu, beresin dulu buku bukunya yang perlu perhatian supaya ngga jadi NPL, konsolidasi lah.

Ketiga dari sisi demandnya mereka yang moodnya wait and see cuma sekarang kan nggak bisa kalau wait and see saja. Makanya dari BI dengan kebijakan makroprudensial kita koordinasi dengan OJK sektor strategis mana yang akan didorong supaya bisa tumbuh.

Jadi ya ini menandakan memang saat ini transmisi belum optimal karena ekonomi kita lagi konsolidasi juga ya. Tapi yang pasti dari kitanya di BI tetap berusaha stabilitasnya terjaga karena buat kita dengan adanya stabilitas itu bisa pengaruhi konfidens. KIta bisa menjaga stabilitas inflasi rendah kan daya beli masyarakat akan kuat. Sehingga orang terus beralih ke konsumsi.

Terus juga nilai tukar juga sama dengan nilai tukar yang stabil kan buat masyarakat, pengusaha itu nilai tukarnya harus stabil. Misal level tertentu, bisa memberi mereka kepastian untuk berbisnis. Misal sekarang di Rp 13.900an, saya impor Rp13,900 saat barang mau hasil produksi kalau nggak stabil tiba tiba rate naik melonjak tinggi kan rugi dia kalau ada kenaikan drastis. Makanya stabilitas itu penting. Nilai tukar ya harus sesuai fundamentalnya. Sekarang kita tidak pernah bicara level.

Hide Ads