Dunia penggiat anti peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia belakangan punya tantangan baru. Di saat seluruh elemen di republik ini masih berjibaku untuk keluar dari kubangan status darurat narkoba, muncul isu kratom sebagai lakon baru dengan segudang potensi polemik yang justru bisa memperkeruh kubangan tersebut.
Seyogyanya, tanaman yang masih satu famili dengan kopi ini sedang melakoni masa karantina legislasi hingga tahun 2024. Kebijakan tersebut diambil oleh seluruh perwakilan kementerian dan instansi/lembaga (K/L) yang datang rapat di Kantor Staf Presiden (KSP) pada Februari 2020 lalu.
Rapat menyepakati kratom belum bisa masuk daftar golongan narkotika, karena belum mengantongi kajian lengkap mulai dari perspektif ekologi, tata niaga, lingkungan hidup dan tanaman pengganti bila sudah dilarang.
Namun, "Permasalahan kratom harus mulai disosialisasikan kepada masyarakat tentang bahaya zat kratomnya," tegas Muldoko, Kepala KSP, seperti dikutip laman Badan Narkotika Nasional (BNN).
Alih-alih segendang sepenarian mengikuti hasil rapat tersebut, irama berbeda justru terdengar dari Kalimantan Barat, yang dikenal 'surganya' ketum, cakap orang Melayu untuk kratom. Pada tanggal 28 September 2021 lalu, berkumandang berita ekspor resmi 500 kilogram tepung kratom menuju Belanda, terbang menggunakan maskapai Garuda Indonesia dari Bandara Supadio, Kalimantan Barat.
Kantor Wilayah Bea dan Cukai Wilayah Kalimantan Bagian Barat (Kalbagbar) dan Dinas Perdagangan, Perindustrian dan ESDM Pemprov Kalbar, menjadi para wali resmi helatan tersebut.
"Selama ini pengusaha kratom dari Kalbar melakukan ekspor dari Surabaya, Semarang, atau Jakarta. Padahal dari Kalbar juga boleh, dan bisa. Tidak apa-apa," tegas Kepala Kantor Wilayah Bea dan Cukai Kalbagbar Harry Budi Wicaksono seperti dikutip Antara.
Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Kanwil Bea Cukai Kalbagbar, Agung Saptono menambahkan, dengan adanya ekspor langsung dari Kalimantan Barat dapat mengurangi biaya perusahaan, menaikan devisa negara dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Riwayat Legislasi
Cerita dari Pontianak tersebut, tentu mengernyitkan dahi para peramu regulasi kratom. Maklum, sedari awal rapat, tak ada perdebatan panjang mengenai kandungan daun berlabel ilmiah Mitragyna Speciosa ini. Senyawa utama Kratom adalah mitragynine dengan efek analgesik (pereda rasa nyeri). Kandungan senyawa lain; 7-OH mitragynine. Efeknya psikoaktif dan sedatif (penurun kesadaran).
Kekuatan efeknya bahkan 13 kali lebih kuat dari morphin. Gajah pun bisa koma dibuatnya.
Menimbang seluruh efek yang diakibatkan dua senyawa tersebut, sudah cukup unsur untuk kratom dikategorikan narkotika sesuai yang tertulis di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Adapun efek adiksinya, melayakkan kratom masuk narkotika golongan I, yakni narkotika yang tidak bisa digunakan dengan dalil medis karena hanya bisa digunakan untuk kepentingan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Dus, tak butuh waktu lama untuk BNN menyatakan yakin bahwa kratom terklasifikasi Narkotika Golongan I. Sejak United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menggolongkan kratom sebagai NPS pada tahun 2013 (www.unodc.org), tak sampai 2 tahun kemudian, BNN melayangkan surat permohonan kepada Kementerian Kesehatan RI, untuk memasukkan kratom dalam daftar narkotika baru.
Namun keyakinan BNN bertepuk sebelah tangan. Pada Januari 2017, Menkes hanya merubah daftar psikotropika melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 3 tahun 2017. Hanya saja, pada bulan Agustus di tahun sama, Menkes menelurkan beleid dengan membentuk Komite Nasional (Komnas) Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika.
Komnas tersebut bertugas membuat kajian dan analisis lengkap para calon narkotika baru. Selain kratom, adapula daun khat yang cukup populer ketika itu, yang harus digodok matang oleh kelompok kerja (Pokja) dengan berisikan perwakilan K/L terkait. Output rapat perdana Komnas; rencana kegiatan sebagai penunjang analis dan kajian.
"Jadi waktu itu (rapat Komnas tahun 2017), sebenarnya kami (seluruh perwakilan K/L pusat) sudah satu pemahaman (kratom dilarang). Sehingga tiap K/L tinggal memaparkan action plans untuk menekan laju produksi dan pemasaran kratom," ujar salah satu pejabat lembaga yang hadir dalam rapat tersebut.
Sebagai contoh, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengambil sikap dengan menelurkan Surat Edaran Nomor HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna dalam Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan. BNN melalui Deputi Bidang Pencegahan dan Daya Masyarakat, melakukan edukasi kepada masyarakat petani kratom terkhusus di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar).
Dalam upaya menekan laju peredaran ekspor sebagai penyerap cuan tinggi, perwakilan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian RI akan merevisi kebijakan pemberian izin ekspor khusus komoditi kratom. Sementara perwakilan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Balai Karantina Pertanian bakal menaikkan bea dan biaya layanan guna memangkas marjin keuntungan eksportir.
Lanjut ke halaman berikutnya
Asas Legalitas
"Tapi, karena action plans itu bersumber hanya dari imbauan (Komnas), jadi ada (K/L) yang komitmen menjalankan, ada juga yang tidak," lanjut sumber tersebut. Di sisi lain, kegiatan yang diramu K/L sejak 2017 tersebut ternyata juga sulit dilaksanakan lantaran ketiadaan dasar hukum.
Contohnya, masyarakat Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, sempat mengusir kehadiran personil BNN yang hendak mengedukasi tentang bahaya kratom. "Kami sudah tahu bahaya kratom. Ada juga warga kami yang sakit bahkan meninggal karena kebanyakan pakai kratom," ujar Samin, salah seorang petani kratom di Kapuas Hulu ketika dihubungi penulis.
Namun, lanjut Samin, selama digunakan dalam dosis tepat, kratom sangat berguna untuk kesehatan khusus dalam menjaga stamina. Apalagi kratom belum resmi dilarang. Selama permintaan masih ada, dirinya tidak akan berhenti menanam kratom, mengingat sebagai penopang ekonomi keluarganya dalam dekade terakhir.
Cerita lain diungkapkan Richard, salah satu eksportir tepung kratom asal Pontianak, ketika bertemu penulis di Jakarta beberapa hari lalu. Sejak harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit anjlok hingga ke level di bawah Rp 5.000/ kilogram pada tahun 2016 lalu, Richard bersama sepupunya menyulap kebun kelapa sawit dengan luas sekitar 60 hektare yang ada di Putu Sibau, menjadi ladang ketum.
"Harga jual (daun remahan kratom) dari petani bisa Rp 28.000,- per kilogram," beber Richard. Selain sepupunya, Richard juga berkongsi dengan petani sekitar, sehingga total luas lahan mencapai ratusan hektare dengan pasokan daun kratom siap jual berkapasitas 40 ton.
Euforia para pelaku usaha kratom khusus wilayah Kalbar pun kian bergelora, tatkala pejabat setempat, baik eksekutif maupun legislatif, terus memberi lampu hijau pada bisnis ini. Janji melenggangkan bisnis kratom pun kerap menjadi materi utama kampanye para kontestan pilkada, khususnya di daerah-daerah penghasil kratom.
Seperti dilansir dari Antara, Gubernur Kalbar Sutarmidji menyebutkan, setidaknya ada 200 ribu keluarga di Kalbar, yang bergantung hidup pada kratom. Kratom pun tak bisa langsung dilarang, karena butuh waktu dalam hal pengalihan sumber pendapatan masyarakat. Dampak ekologi pemusnahan ladang kratom juga menjadi alasan lain penundaan legislasi.
Bisnis kratom memang cukup berhasil mengatrol kesejahteraan masyarakat Kalbar. Bila tak sempat berkunjung langsung, akan mudah ditemukan literasi yang memotret kehidupan mereka di dunia maya. Pun tentang kajian ilmiah mengenai pentingnya kratom dari kaca mata sosial, ekonomi, ekologi, membanjiri daftar hasil mesin pencari.
Lantas bagaimana cerita di sisi kontra kratom. Hasil selancar penulis, hanya opini yang berseliweran. Itupun, berkutat pada dampak senyawa dan efek samping yang ditimbulkan. Sementara dari perspektif penegakan hukum, belum ada kajian ilmiah yang bersumber dari objek empiris. Misal data prevelensi penyalah guna, korban sakit/meninggal, atau akibat perilaku yang ditimbulkan kratom.
Maka tak heran, dari 2 (dua) aturan perubahan penggolongan narkotika yakni Permenkas Nomor 50 tahun 2018 dan Permenkes Nomor 44 Tahun 2019, nama kratom tak kunjung melenggang masuk ke dalam daftar narkotika yang dilarang.
Lanjut ke halaman berikutnya
Alur Labirin
Walau demikian, BNN tak mau kalah angel. Kepala BNN yang ketika itu masih dijabat Komisaris Jenderal Polisi Her Winarko, terjun langsung ke Pontianak menjumpai para stake holder guna menyelaraskan persepsi; urgensitas larangan kratom. Edukasi tanaman pengganti dan life skill paskaperalihan budidaya kratom juga giat digencarkan di berbagai daerah ladang.
Pejabat lokal tetap kekeuh. Bahkan dalam salah satu kesempatan forum diskusi, Sutarmidji malah menyatakan sikap akan terus mendorong budidaya kratom agar bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan farmasi dan kedokteran. (https://bnn.go.id/bnn-gelar-focus-group-discussion-fgd-bahas-tanaman).
Kisruh ini termonitor Menkopolhukam, lakon yang bertanggung jawab atas stabilitas hukum di negara ini. Para K/L terkait dikumpulkan pada November 2019. Hasil rapat, tenggat waktu perumusan legalisasi kratom diberikan selama 5 tahun, yakni hingga 2024.
Pada Februari 2020, rapat antar K/L kembali digelar. KSP kali ini jadi tuan rumah. Hasilnya tak jauh beda; dualisme kebijakan. Tak ada larangan memakai, memproduksi, dan menjual daun kratom dan segala bentuk olahannya. "Jangan sampai menambah jumlah pohon kratomnya," sabda penutup Muldoko.
Hasil rapat di atas, tentu membingungkan para pelaku usaha kratom. Imbasnya sangat terasa di lapangan. Di lini hulu, petani tetap memetik dan menimbun isi gudang. Namun ketika hendak dipasarkan, beberapa perangkat otoritas mulai 'seret' kasih restu.
Richard kasih contoh, sangat susah memperoleh izin perdagangan dan balai karantina pertanian. Sinyalir diperkuat pula dengan bocornya petikan hasil rapat Balai Karantina Pertanian dengan The American Kratom Association (AKA) di dunia maya, yang mengisyaratkan kratom akan segera dilarang.
Sedikit menyibak profil AKA dengan mengintip laman resminya (www.americankratom.org), organisasi 'nirlaba' ini pejuang hak para pengguna kratom di negeri Paman Sam. AKA siap bergerilya ke ujung dunia sekalipun, guna menjaga stabilitas suplai kratom di AS yang diperkirakan prevelensi sudah mencapai puluhan juta orang.
Dalam artikel bertajuk "Kratom the Undiluted Truth is it a dangerous Drug or a Godsend", penggiat HAM Internasional Dr Robert Turner kasih bocoran, banyak pelaku usaha farmasi dan rehabilitasi di AS bergantung harapan pada AKA.
Maklum, ketergantungan opioid adalah masalah kesehatan terbesar masyarakat AS yang diperkirakan akan berlangsung hingga satu dekade mendatang. Kratom dipilih sebagai substitusi prioritas paskaputus opioid. Harganya yang jauh lebih murah ketimbang substances lainnya. Kompeni pun cuan tinggi.
Jadi wajar AKA rela terbang jauh ke Jakarta dan Pontianak. Indonesia diketahui sebagai produsen kratom terbesar di dunia. Khusus ekspor dari wilayah Kalimantan Barat saja, kisaran pendapatan tahunan mencapai US$130 juta di tahun 2016.
"Larangan kratom di Indonesia jelas akan berdampak pada ketersediaan dan harga kratom dunia," simpulnya. (https://medika.life, 2020).
Lanjut ke halaman berikutnya
Masa Hampa
"Ubi Socitas Ibu Ius", di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Bila tak ada hukum di tengah masyarakat, seperti kata ahli hukum Van Kan (Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, 2009) tentu akan ada kepentingan manusia yang terganggu.
Dalam bisnis kratom, kasta yang paling terganggu dari kehampaan hukum dan ketidak pastian iklim bisnis ini adalah petani. Baik harga daun basah, kering, fermentasi maupun daun remahan kratom, anjlok drastis. Tengkulak tak mau lagi membanderol dengan harga tinggi, dengan dalil butuh biaya tambahan urus izin. "Saat ini, harga daun remahan hanya dihargai belasan ribu rupiah per kilogram," beber Richard.
Richard pun akhirnya coba terjun ke hilir untuk pangkas ongkos. Ternyata, dalil tengkulak tak sekedar dalil. Izin ekspor langung dari Kalbar, sangat susah dikantongi. Eksportir kratom disarankan menggunakan pelabuhan Batam atau Bali sebagai titik lepas jangkar. Itupun statusnya tidak resmi. Dus, calon importir di AS dan beberapa negara di Eropa yang menjadi sasaran pasar, bakal sulit digaet, bila komoditi tidak lengkap suratnya.
Sementara versi Samin, selama 7 tahun menjalankan bisnis kratom, pihaknya selalu menggunakan jalur Pelabuhan Tanjung Priok, dan tidak pernah melalui pelabuhan di Pontianak atau Sintete. "Biaya kontainer di sana (Tanjung Priok) jauh lebih murah, ketimbang di sini. Bisa 2-3 kali lipat bedanya (biaya)," jelasnya.
Maka, berita mengenai ekspor 500 kilogram kratom dengan 'kawalan' Bea dan Cukai Kalbagbar dan Dinas Perdagangan, Perindustrian dan ESDM Pemprov Kalbar, tentu buat Samin dan Richard sumringah. Mereka pun siap tancap gas untuk kosongkan puluhan ton stok ragam jenis kratom yang selama ini tertimbun di gudang.
Hanya saja, ber-embel-kan tenggat waktu usaha hingga tahun 2024, baik Samin dan Richard kompak juga sudah siapkan rencana untuk hijrah mata pencaharian sebelum tenggat itu tiba. Mereka juga skeptis terhadap cerahnya iklim ekspor kratom saat ini, bisa saja berubah drastis lantaran diskrepansi pandangan para otoritas terhadap kratom itu sendiri.
Lanjut ke halaman berikutnya
Keluar atau Tambah Liku?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih mengumandangkan status darurat narkoba di beberapa kesempatan. Sejatinya, seluruh elemen negara ini segendang sepenarian dalam memerangi kejahatan narkotika di segala aspek. Energi dan fokus pun harus terpadu dalam upaya keluar dari status tersebut. Bukan malah hanyut dalam labirin legislasi macam kratom ini.
Mengulur waktu menjadi rasional, ketika saat ini pihak kontra kratom belum cukup mengimbangi kajian yang tersaji di kubu lawan. Perlu segera ada penelitian empiris lengkap, baik pendekatan medis maupun yuridis, tentang dampak negatif yang ditimbulkan kratom.
Namun, perlu diingat pula, penundaan ini bisa berakibat munculnya liku (masalah) baru yang kelak malah mempersempit akses keluar. Keputusan harus segera diambil. Bila memang kebijakan mengarah ke pelarangan, seluruh K/L terkait harus kompak sikap dalam 'masa kahampaan' ini.
Jangan pula gegabah ambil keputusan tanpa pertimbangan matang. Seperti Thailand yang sebelumnya telah melarang penggunaan kratom -kecuali alasan medis- sejak 1943, mendekriminalisasi daun kratom (mulai dari produksi, konsumsi, peredaran) mulai 24 Agustus 2021. Namun negeri Gajah Putih tersebut tetap melarang konsentrat kratom dalam bentuk serbuk atau cairan.
Menjadi anomali, bila kita yang masih dalam berjibaku keluar dari status darurat, mengekor Thailand yang mau berkompromi dengan kratom lewat anasir budaya, sosial, dan ekonomi. Perlu ditimbang pula anggaran dan sumberdaya pengawasannya. Penegak hukum narkotika yang ada saat ini saja sudah cukup ngos-ngosan dalam menjaga negara seluas 5.193.250 km² ini dari gempuran pengedar.
Cuan atau Hancur?
Amit-amit bila sampai terjadi macam Bolivia -negara berjuluk 'si kedelai yang duduk di tambang emas'-, yang saat ini menjadi negara termiskin kedua di Amerika Selatan lantaran tidak bisa keluar kubangan daun koka lantaran sudah menjadi bagian budaya selama berabad-abad.
Atau Myanmar, yang seluruh lahan opium sudah terlanjur 'diamankan' pasukan sipil bersenjata, sehingga memilih pembiaran ketimbang perang saudara. Hingga konflik senjata akhirnya terjadi dalam dekade terakhir, junta militer pun sangat kewalahan menghadapi persenjataan pasukan separatis yang selama ini disokong dana hasil penjualan opium.
Motif atau sikap kalbu (mens rea) utama pelaku tindak pidana peredaran gelap narkotika, tak lain adalah uang (keuntungan). Adapun alibi himpitan sosial ekonomi, maupun kebutaan atau kekosongan hukum yang kemudian menyertai, pengedar narkotika tetaplah victimless. Selain dia, semua pihak adalah korban dari kejahatan ini.
Ditambah berpredikat kejahatan luar biasa (extraordinary crime), dengan menimbang dampak masif yang ditimbulkan, seharusnya negara tak boleh kompromi bila mau memberangus kejahatan narkotika.
Maka wajar, UU Narkotika tergolong salah satu aturan cukup 'sadis' di republik ini. Semangat ini seharusnya diiukuti oleh aturan turunannya. Konsep keadilan filsuf John Rawls yang menuntut keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama. ("Theory of Justice", 1971), pun tidak berlaku untuk dalam mengatasi kejahatan narkotika khususnya di Indonesia. Sebab, apapun kepentingan pribadi pelaku kejahatan narkotika, sangat tidak layak untuk ditimbang dengan dampak bahaya pada kehidupan banyak orang.
Ade Jun F. Panjaitan
Mantan Jurnalis & Penggiat Anti Narkotika