Upaya RI Caplok 51% Saham Freeport hingga Terwujud di Era Jokowi

Upaya RI Caplok 51% Saham Freeport hingga Terwujud di Era Jokowi

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Sabtu, 14 Jul 2018 08:22 WIB
Upaya RI Caplok 51% Saham Freeport hingga Terwujud di Era Jokowi
Foto: Dikhy Sasra
Jakarta - PT Freeport Indonesia sepakat menyerahkan 51% saham (divestasi) ke pemerintah Indonesia. Pemerintah melalui PT Inalum (Persero) akan membelinya sehingga menjadi pemegang saham mayoritas di Freeport.

Kabar gembira ini diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kamis (12/7/2018).


"Saya telah mendapatkan laporan bahwa holding industri pertambangan kita Inalum telah capai kesepakatan awal dengan Freeport, pengolahan, untuk meningkatkan kepemilikan kita menjadi 51% dari yang sebelumnya 9,36%. Alhamdulillah," kata Jokowi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jokowi mengatakan, proses mengambil saham Freeport bukan perkara mudah, sebab negosiasi berlangsung alot.


"Ya seperti kita ketahui Freeport Indonesia kelola tambang hampir 50 tahun. Dengan porsi kepemilikan 9,36%, inilah 3,5 tahun yang kita usahakan sangat alot dan sangat intens sekali, tapi memang kita kerjain ini diam karena ini menyangkut negosiasi yang tidak mudah," ujarnya.

Usai diumumkan Jokowi, Kamis sore harinya berlangsung penandatanganan head of agreement yang menandai proses akuisisi 51% saham Freeport dimulai.



Patut diketahui, pengambilalihan saham Freeport sebenarnya sudah diupayakan sejak lama, namun kunjung berhasil hingga akhirnya bisa terwujud di era Jokowi. Berikut berikut berita selengkapnya.
Menengok ke belakang, kontrak karya (KK) pertama Freeport diteken pada 1967 atau pada masa Presiden Soeharto. Saat itu, Soeharto baru saja menggantikan Presiden Pertama RI Soekarno.

Di era Soeharto, investasi dibuka lebar-lebar. Sementara, KK pertama sendiri disepakati 30 tahun atau berakhir pada 1997.

Belum selesai masa KK pertama, KK jilid kedua diteken pada 1991. Sebenarnya, pada KK ini sudah ada ketentuan wajib divestasi saham 51% bertahap dalam 20 tahun.

Pasal 24 KK tahun 1991 menyebutkan kewajiban divestasi terdiri dari 2 tahap. Pertama, melepas saham ke Indonesia sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991.

Divestasi kedua mulai 2001, Freeport harus melepas sahamnya 2% per tahun, hingga kepemilikan Indonesia mencapai 51%. Namun, proses divestasi untuk mencapai 51% tak kunjung jalan. Pemerintahan pun terus berganti sampai Presiden Jokowi memimpin akhirnya tercapai perjanjian Freeport menyerahkan 51% ke Indonesia melalui PT Inalum (Persero).

Di era Jokowi keseriusan mengakuisisi Freeport tampak. Pada 27 Agustus 2017, para menteri Jokowi mengumumkan kesepakatan terkait hasil negosiasi dengan Freeport. Mereka ialah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Dalam pengumuman tersebut, dipaparkan tiga kesepakatan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dan Freeport antara lain:

1. Freeport Indonesia sepakat untuk melakukan divestasi 51% saham kepada pihak Indonesia

2. Freeport Indonesia berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun sampai Januari 2022, atau 5 tahun sejak Izin usaha Pertambangan Khusus (IUPK) keluar.

3. Freeport Indonesia sepakat menjaga besaran penerimaan negara sehingga lebih baik dibanding rezim Kontrak Karya (KK)

"Presiden menyetujui berdasarkan UU Minerba ada perpanjangan maksimum 2 x 10 tahun yang persyaratannya ditulis dalam IUPK. Perpanjangan bisa diajukan sejak sekarang. Kalau dipenuhi bisa diperpanjang. Hasil perundingan sesuai instruksi Presiden untuk mengedepankan kepentingan nasional namun tetap menjaga iklim investasi," tutur Jonan dalam pengumuman hasil kesepakatan di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8/2017).

Sri Mulyani dalam kesempatan itu mengatakan, ketiga kesepakatan tersebut juga merupakan arahan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan tidak mudah untuk diselesaikan.

"Pemerintah akan mendorong lebih keras lagi supaya bisa disepakati lebih cepat," tegas Sri Mulyani.

"Kami optimis bisa menuangkan ini dalam waktu dekat. Perundingan ini tidak mudah, Presiden sangat tegas menjaga kepentingan Indonesia. Dengan 3 hal itu maka perpanjangan izin operasi bisa diberikan kepada Freeport Indonesia," imbuh Sri Mulyani.

Kesepakatan dalam negoisasi ditindaklanjuti dengan Head of Agreement (HoA) dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) dalam rangka pengambilalihan saham. Acara penandatanganan tersebut menjadi tanda bahwa telah tercapai proses pengambilalihan saham Freeport Indonesia hingga 51%.

Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin dan CEO Freeport Mcmoran Ricard Adkerson.

"Dengan ditandatanganinya HoA yang baru saja disaksikan maka telah dicapai proses divestasi, sebagai mana tandatangan HoA yang baru saja dilakukan Inalum dengan Freeport Mcmoran," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (12/7/2018).

Dia berharap ke depannya proses HoA ini bisa memberikan kontribusi lebih besar untuk menyejahterakan masyarakat khususnya di Papua.

"Diharapkan partnership FCX dengan Inalum dan Pemerintah maupun Pemda bisa meningkatkan kepastian dalam lingkungan operasi dan nilai tambah industri ekstraktif, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran," jelas dia.

Direktur Utama PT Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, 11 bank menawarkan pinjaman untuk membeli 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Nilai pinjaman itu mencapai US$ 5,2 miliar atau Rp 72,8 triliun (kurs Rp 14.000).

Hal itu jelas lebih banyak dari yang dibutuhkan oleh Inalum. Dalam proses akuisisi 51% saham PTFI dibutuhkan dana sebesar US$ 3,85 miliar atau Rp 53,9 triliun (Kurs Rp 14.000).

"Yang sudah ditawarkan ke kita itu (US$ 5,2 miliar) lebih banyak dari yang kita butuhkan, lebih banyak dari US$ 3,85 miliar," kata Budi di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (12/7/2018).

Dari 11 bank ini nantinya berbentuk pinjaman sindikasi. Kelebihan tawaran dana pinjaman itu pun belum diputuskan bakal diambil seluruhnya atau tidak.

Mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini pun mengaku sudah berdiskusi kepada seluruh perbankan yang siap memberikan pinjaman. Salah satu yang memberikan pinjaman adalah perbankan BUMN.

"Ada (BUMN), jadi bukan nggak bisa diambil semua, butuhnya kan cuma US$ 3,85 miliar, ngapain diambil semua ya kita cari mana yang terms-nya paling murah dan banyak," terang Budi.

Hide Ads